Pesantren

Awalnya Hanya Musholla Angkring

NU Online  ·  Rabu, 24 Juli 2013 | 02:16 WIB

Probolinggo, NU Online
Pondok Pesantren Nurul Qodim berbeda dengan pesantren yang lain. Pesantren yang berada di Desa Kalikajar Kulon Kecamatan Paiton Kabupaten Probolinggo ini berpegang teguh pada pelajaran-pelajaran ulama salafiyah. Pesantren ini diasuh oleh KH Hasan Abdul Jalal Hasyim.<>

Awal berdirinya Pesantren Nurul Qodim bernama Pesantren Darus Salam. Tetapi pada tahun 1975 sampai sekarang ganti nama menjadi Pesantren Nurul Qodim. Pesantren ini termasuk salah satu pesantren yang cukup dikenal khususnya di Kabupaten Probolinggo.

Pesantren yang berdiri di lahan seluas kurang lebih 5 hektar ini didirikan oleh KH. Hasyim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai Mino. Mulanya pesantren ini hanya sebuah musholla angkring yang sangat sederhana. Namun keberadaan musholla itu cukup “makmur” dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Keberadaannya menjadi lebih hidup dengan banyaknya warga sekitar yang menimba ilmu pada Kiai Mino.

Seiring dengan berjalannya waktu, minat warga dan para orang tua semakin tinggi untuk mengirim putra-putrinya belajar ilmu agama pada Kiai Mino. Semakin membludaknya para santri itu juga membuat warga sekitar mulai kebingungan untuk menunaikan Shalat Jum’at. Mereka tidak mempunyai masjid yang memadai. Karena itu, Kiai Mino merubah musholla angkringnya menjadi masjid.

Masjid yang sampai kini masih berdiri kokoh di pesantren itu menjadi masjid yang kali pertama didirikan Kiai Mino. Selesai dibangun, masjid itu diresmikan oleh guru Kiai Mino yaitu KH. Muhammad Hasan, pengasuh kedua Pesantren Zainul Hasan Genggong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo. 

“Kiai Hasan sepuh (panggilan karib KH. Muhammad Hasan) membuka dan meresmikan masjid itu sekaligus shalat Jum’at untuk yang pertama kalinya,” ujar pengasuh Pesantren Nurul Qadim KH. Hasan Abdul Jalal Hasyim kepada NU Online.

Semakin hari, jumlah santri yang hendak menimba ilmu pada Kiai Mino semakin banyak. Sehingga pada tahun 1947, Kiai Mino mendirikan dua belas kamar asrama putri. Ternyata kamar-kamar itu tidak berfungsi sebagaimana umumnya pesantren. Sebab santrinya masih enggan menetap.

Banyaknya santri yang enggan mondok itu, tidak menyurutkan langkah Kiai Mino untuk terus mensyiarkan agama Allah SWT. Semakin tahun, santri alumni Pesantren semakin membludak. Dengan keyakinan akan pertolongan Allah SWT, pada tahun 1955 Kiai Mino membuka Madrasah Diniyah (Madin) dan memanfaatkan luasnya masjid sebagai tempat belajar mengajar. Madin yang memilih melaksanakan kegiatan belajar mengajar pada sore hari ini disambut antusias oleh masyarakat sekitar.

“Sejak berdiri hingga saat ini, madin dengan pelajaran ilmu-ilmu agama ini semakin berkembang. Disamping itu, lambat laun mulai ada santri yang mondok. Hingga kini santri di pesantren ini sudah mencapai ratusan dan berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur,” pungkasnya.



Redaktur     : A. Khoirul Anam
Kontributor : Syamsul Akbar

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua