Pesantren

Al-Huda: Manuggaling Kiai dan Masyarakat

NU Online  ·  Jumat, 27 Juli 2012 | 03:44 WIB

“Ketika ada pertemuan guru ngaji di Pemda Subang, ternyata yang hadir, hampir separuhnya alumni Pungangan,” ujar Uzen Muzayyin, pengasuh Pesantren Nurudzolam Kalijati, Subang, Jawa Barat.<>

Yang dimaksud Pungangan oleh Uzen Muzayyin adalah Pondok Pesantren Al-Huda yang memang terletak di Dusun Pungangan, Desa Rancabango, Kecamatan Patokbeusi, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Ia adalah lulusan pesantren tersebut di tahun 1980-an.

Selain Uzen, terdapat ribuan lulusan. Mereka umumnya mengajar agama di pendidikan formal dan nonformal. Mereka jadi penerang dan manunggal dengan masyarakatnya.

Didirikan Pelarian DI/TII

Pondok Pesantren Al-Huda didirikan tahun 1948 oleh KH. Syamsudin bin Sulaiman, seorang ulama dari Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ia sampai ke Pungangan tak lepas dari dinamika pergerakan politik dalam negeri. Sekitar tahun 1947, ketika di Garut, ia dipaksa menjadi pengikut Kartosuwiryo yang bercita-cita mendirikan Daarul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). 

KH Syamsuddin (selanjutnya akrab dipanggil Mama Syamsudin. Mama adalah keakraban dari rama yang berarti bapak) menolak dan menentangnya. Oleh karena itu, ia dipaksa ikut. Karena tetap menolak, ia diancam dan diteror. Untuk menyelamatkan diri, ia lari dan sampailah ke Subang.

Di Subang, ia bekerja di perkebunan singkong dan nanas. Karena ia mampu membaca dan menulis, pihak perusahaan mengangkatnya menjadi mandor. Di perkebunan ini, ia bertemu dengan Abdul Wahid. Rupanya, selain pekerja, ia juga tokoh agama Pungangan. 

Karena merasa ada kecocokan, keduanya menjadi sahabat dekat. Dalam persahabatan itu, Abdul Wahid tahu, ternyata Syamsuddin adalah ahli agama. 

Abdul Wahid kemudian memintanya untuk menetap di Pungangan. Gayung bersambut, dengan senang hati, Syamsudin menerima tawaran tesebut. Ia kemudian diberi tugas mendidik masyarakat Pungangan dengan pelajaran agama.

Demi kelancaran kegiatan belajar-mengajar, sesepuh warga Pungangan yang dikomandoi Kyai Asy`ari, dibangunlah sarana dan prasarananya. Termasuk fasilitas untuk Syamsuddin. Mulailah ia mengajar kitab kuning kepada kepada anak-anak Pungangan. 

Sebagaimana umumnya pesantren, pelajaran meliputi ilmu fiqh, tauhid, tasawuf, dan nahwu. Tempat kegiatan belajar-mengajar ini kemudian diberi nama Al-Huda dengan harapan para peserta didik yang belajar di sana dapat diberikan hidayah dan petunjuk dari Allah Swt. untuk hidup di jalan benar.

Pada akhir tahun 1948, Mama Syamsudin beserta para tokoh sepakat membangun gedung pondok pesantren Al-Huda semi permanen. 

Demikianlah, kyai tersebut selalu bersama-sama masyarakat. Ia adalah kyai yang manunggal dengan masyarakatnya. Ibarat air dan ikannya.

Membuka pendidikan formal 

Dari tahun ke tahun, santri berdatangan ke Al-Huda. Santri yang sudah cukup lama, dianjurkan menimba ilmu ke pesantren yang lebih besar. Di antara mereka melanjutkan ke Jombang, Buntet, Purwakarta, dan Bandung.

Pada tahun 1958, untuk dibangun gedung santri puteri. Pada waktu itu pula pengajaran di bagi dua. Pengajaran santri puteri ditangani Mama Syamsudin langsung. Sementara santri putera diserahkan kepada menantunya, KH. Abdul Karim bin Ali.

Pada tahun 1970-an Mama Syamsudin beserta para tokoh masyarakat sepakat untuk mendirikan lembaga pendidikan formal, yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-huda yang lokasinya sangat berdekatan dengan Al-Huda.

Pada tahun 1977 Mama Syamsuddin meninggal (tidak diketahui usianya). Pengelolaan pesantren puteri dipegang istrinya, Ibu Nyai Syamsudin. Sementara untuk Ponpes Al-Huda putera tetap dipegang KH. Abdul Karim. 

Merespon perkembangan zaman dan pentingnya lembaga pendidikan formal, KH. Abdul Karim beserta tokoh-tokoh masyarakat pada tahun 1978, memantapkan diri untuk mendirikan lembaga pendidikan formal tingkat lanjutan, yakni Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Huda. 

Pada perkembangan selanjutnya, berdasarkan istikhoroh dan hasil musyawarah keluarga bersama tokoh masyarakat, Pesantren Al-Huda putera berganti nama jadi Pondok Pesantren Al-Karimiyyah. Sementara Pesantren Al-Huda Puteri tidak berubah.

Agar para lulusan MTs Al-Huda dapat melanjutkan pendidikan formalnya, tahun 1980-an didirikan Madrasah Aliyah Al-Huda. 

Al-Huda kini dipimpin Kyai Adang Kosasih, putera Mama Syamsudin; memiliki santri sekitar 53 orang. Sedangkan Al-Karimiyyah diasuh Kyai Thala`al Badar Karim, putera KH. Abdul karim, memiliki 97 santri. Sementara Madrasah Ibtidaiyah bermurid 209, Madrasah Tsanawiyah 218 murid dan Madrasah Aliyah 117 murid.


Berbasis NU 

Masyarakat Pungangan merupakan basis nahdliyin di Subang. Hal itu, tak mrngherankan karena KH Syamsuddin merupakan Rais Syuriah PCNU Kabupaten Subang pada tahun 1950-an. 

Keaktifan di organisasi ahli sunah wal-jama’ah tersebut, ditunjukkan hingga sekarang. Kyai Adang Kosasih adalah Rais Syuriyah dan Kyai Thala`al Badar Karim adalah Ketua Tanfidziyah Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Patokbeusi periode 2012–2017.



Redaktur : A. Khoirul Anam
Penulis    : M. Aiz Luthfi Karim

Terkait

Pesantren Lainnya

Lihat Semua