(Refleksi Hari Kesaktian Pancasila ditengah Ideologi Trans-Nasional dan Neo-Liberal)
Oleh: A. Naufa Khoirul Faizun(*
<>
Tanggal 01 Oktober 2012 ini kita peringati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Sebagai Ideologi resmi dan telah di anut masyarakat Indoinesia, Pancasila telah mengalami pasang surut sejarah dengan segala dinamikanya. Banyak yang menjunjung tinggi nilai dan sakralitasnya, walau ada juga ormas dan partai yang merongrongnya untuk diganti dengan ideologi lain. Khawatir dengan eksistensinya, MPR RI berjuang meneguhkannya lewat program Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan yaitu: Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
Mengapa nilai-nilai Pancasila kini semakin memudar? Lalu efektifkah sosialisasi yang menghabiskan banyak dana itu? Bagaimana seharusnya paradigma yang dibangun untuk meneguhkan kembali nilai-nilai pancasila? Untuk menjawab hal tersebut tidak mudah memang. Namun demikian, kita perlu flash back kebelakang bagaimana para funding futher kita membuat pancasila. Semangat dan dengan nilai apa mereka membuat Ideologi negara? Dengan hal tersebut, faham trans-nasional yang dewasa ini merong-rong Pancasila akan sedikit ter-proteksi terutama bagi pemuda dan mahasiswa selaku pemilik masa depan bangsa.
Sebagaimana kita tahu bahwa berdirinya republik ini dahulu diwarnai dengan perdebatan alot tentang dasar negara. Perdebatan itu terjadi dalam BPUPKI yang beranggotakan 62 orang dengan diketuai Radjiman Wedyodoningrat, seorang tokoh budi utomo. Badan ini tidak hanya bertugas menyelidiki mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia, namun juga sekaligus membicarakan dasar-dasar negara dan undang-undang dasar. Dalam baadan ini perdebatan sengit terjadi antara nasionalis sekuler dengan nasionalis muslim. Kelompok Islam kemudian melupakan perbedaan diantara mereka; golongan pembaharu dan tradisional bersatu dan menuntut negara harus berdasarkan Islam.
Setelah serangkaian pidato, khususnya dari Muhammad Yamin dan Supomo, Soekarno mengajukan lima prinsip yang kemudian disebut sebagai Pancasila, yaitu: 1. Kebangsaan; 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan; 3. permusyawaratan; 4. Kesejahteraan; dan 5. Ketuhanan. Pidato ini dimuat dalam naskah persiapan undang undang dasar 1945 yang disusun oleh Yamin dan dianggap hanya mewakili para nasionalis sekuler karena tidak ada satupun pidato para anggota nasionalis Islami yang dimuat(Einar Martahan S, NU & Pancasila, 2010). Sebagaimana kita ketahui, pertentangan didalam BPUPKI itu kemudian diselesaikan dengan "kesepakatan kehormatan" yang dikenal dengan Piagam Jakarta.
Dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter), prinsip ketuhanan dirumuskan dengan penambahan "dengan kewajiban untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Piagam itu ditandatangani oleh para tokoh terkemuka yang berjumlah 9 orang (karena itu juga disebut Panitia Sembilan), yang terdiri Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Abikusmo Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, Achmad Subarjo, KH. Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin (Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta dan Sejarah Konsensus Nasional, 1986).
Tetapi, Piagam Jakarta hanya penyelesaian sementara. Perdebatan masih tetap berlangsung dalam BPUPKI. Sehari setelah proklamasi para tokoh merasa perlu pemantapan Ideologi negara karena ada pihak yang merasa ada diskriminasi terhadap pemeluk agama lain. Atas prakarsa Hatta, diadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh muslim nasionalis. Pertemuan itu menghasilkan rumusan Pancasila yang baru dengan mengubah prinsip pertama Piagam Jakarta menjadi hanya Ketuhanan Yang Maha Esa. Atas usul penganut Hindu-Bali, I Gusti Ktut Pudja, kata Allah (yang dianggap "nama khas dalam Islam") diganti dengan Tuhan. KH Wahid Hasyim menyetujui ini dengan alasan kata Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan tauhid dalam Islam(Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 1987). Selain itu, kalangan Islam menyadari sepenuhnya bahwa situasi masih gawat yaitu bagaimana mempertahankan negara dari ancaman kekuatan asing.
Pasca itu, Pancasila menjadi Ideologi negara Indonesia yang dalam perjalanan sejarahnya selalu pasang surut dengan segala dinamikanya sampai saat ini. Kasus korupsi justru menjadi-jadi pasca reformasi, skandal-skandal pejabat publik yang menjadi sorotan serta konflik horizontal dan memudarnya persatuan diantara anak bangsa menunjukkan bahwa cita-cita implementasi Pancasila sebagai Ideologi negara kian hari kian memudar. Belum lagi, maraknya tawuran mahasiswa, pelajar dan kasus radikalisme atas nama agama membuat kita semua harus membenahi segala sektor kehidupan secara komprehensif.
Sosialisasi yang digagas MPR saat ini penulis kira kurang solutif dalam merespon ini. Apa pasal? Setiap warga Indonesia rata-rata sudah tahu dan bahkan hafal pancasila karena memang sudah tersistem dalam pendidikan secara nasional. Yang menjadi masalah sekarang adalah minimnya keteladanan dan peran-serta tokoh masyarakat dalam merespon dan membangun masyarakat secara dekat.
Wakil rakyat yang seyogyanya mewakili rakyat kini sibuk mengurus proyek. Pemimpin-pemimpin baik tingkat daerah maupun nasional sudah tidak lagi dekat dihati rakyat oleh karena sebagian terpilihnya bukan berdasarkan hati nurani namun karena uang(money politic). Pemimpin-pemimpin non-formal kurang dilibatkan dan kurang mendapat supporting sistem oleh pemerintah. Belum lagi masalah pendidikan yang hanya menempatkan mata pelajaran agama hanya beberapa jam dan lebih mengutamakan kecerdasan Intelektual juga menjadi problem tersendiri. Jika hal-hal ini dibenahi secara serius, dengan sendirinya nilai-nilai Pancasila akan kembali tegak, oleh karena Pancasila dulu diambil berdasarkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Melihat konteks Indonesia saat ini ditengah kepungan ideologi trans-nasional yang ingin mengembalikan Pancasila pada Piagam Jakarta dan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam menunjukkan ketidakpuasan beberapa kelompok masyarakat atas kinerja pemerintah. Jika melihat semangat dalam perumusan dan penetapan Pancasila sebagai dasar negara, semestinya hari ini persoalan internal tidak perlu dibesar-besarkan. Semua elemen harus bersatu-padu agar bagaimana bangsa ini bisa merdeka dengan seutuhnya, berdaulat, adil dan makmur, hal yang selama ini masih menjadi cita-cita.
Semua elemen kini harus bersatu-padu meng-counter paham neo-liberal yang kini mencabik-cabik kedaulatan dan memperkosa kekayaan alam bumi pertiwi. Cengkeraman perusahaan-perusahaan asing, impor yang terus menerus dan ketergantungan dengan luar negeri yang sampai hari ini masih menelikung rakyat kecil seharusnya menjadi perhatian utama. Hari ini kita masih disibukkan dengan hal-hal kecil yang kurang subtansial. Padahal, jika aset-aset bangsa bisa di nasionalisasi, pemberdayaan rakyat kecil dibidang ekonomi, pertanian dan pendidikan menjadi fokus, tentunya kita akan menjadi negara yang disegani dan memiliki kedaulatan. Jika hal ini tidak diperhatikan, selamanya Pancasila hanya akan menjadi cita-cita dan bualan belaka. Pancasila hanya akan jadi Ideologi sebuah negeri dengan lautnya yang luas namun untuk makan garam saja harus mengimpor. Negeri yang dengan sekian lahan potensial dan petani yang datang pagi dan pulang sore namun tetap membeli tempe dari luar negeri. Jika sudah begini keadaannya, masihkah kita akan berbicara dan berdebat makna Pancasila?
* Ketua PC IPNU Kabupaten Purworejo
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
5
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua