Opini

Haji Mabrur vs Haji Mabur

Jum, 19 Oktober 2012 | 00:42 WIB

Oleh Lukni Maulana

“ ... mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (Makkah). Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah maha kaya (tiada memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali-‘Imran: 96).

 

Islam merupakan agama rahmatal lil’alamin yang membawa pesan perdamainan, hal ini sesuai dengan makna Islam itu sendiri yakni “damai”. Perdamaian dalam Islam memiliki arti perdamaian dengan Allah maupun manusia. Perdamaian dengan Allah memiliki arti berserah diri kepada Allah, sedangkan dengan manusia yakni menjauhkan diri dari perbuatan keburukan dan kemungkaran kepada sesama akan tetapi selalu berbuat baik dengan sesama.

Sedangkan Islam sendiri dibangun dengan pondasi berupa rukun Islam, rukun tersebut sebagai pondasi tegaknya din al-Islam yang berjumlah lima. Kelima rukun tersebut adalah syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji. Di dalamnya mengandung bimbingan kepada manusia, bagaimana seharusnya ia berhubungan dengan sang pencipta dan berinteraksi dengan sesama makhluk.

Salah satu rukun Islam tersebut yakni ibadah haji (rukun Islam kelima). Ibadah haji merupakan ibadah yang terbaik, karena bukan hanya melibatkan aspek badaniah (jasmaniyah), tapi juga maliah (harta). Bahkan juga aspek ruhaniyah. Ibadah ini merupakan ibadah yang istimewa, kenapa demikian?, karena ibadah haji merupakan jamuan dari Allah yang itu berarti bahwa orang yang melaksanakan ibadah haji merupakan tamu Allah, yaitu dengan mendatangi rumah Allah (baitullah). Berbeda seperti biasanya kalau kita bertamu, kita akan menerima apa saja yang disuguhkan tuan rumah, di rumah Allah orang yang berhaji dipersilahkan meminta apa yang diinginkan kepada sang tuan rumah (Allah), dan pasti akan dikabulkan oleh Allah.

Selain itu, ibadah haji merupakan ibadah yang sangat banyak mengandung unsur napak tilas terhadap perjuangan Nabi Ibrahim  dan Nabi Muhammad Saw. Karena dilaksanakan di Baitullah, tempat yang disucikan, tempat lahirnya ajaran- ajaran tauhid.

Mengali Makna Haji

Bagi umat Islam ibadah haji merupakan keinginan yang luar biasa karena didalamnya hanya diperuntukan bagi orang yang mampu atau sanggup (QS. Ali-‘Imran: 96). Bagi seorang yang berkeinginan melaksanakan ibadah haji ia harus mengeluarkan biyaya yang tidak sedikit, bahkan mencapai puluhan juta. Bahkan rela antri bertahun-tahun untuk mendapatkan jatah tiket berangkat ke Arab Saudi.

Sudah menjadi tradisi atau apa, ibadah haji seakan menjadi sesuatu yang “wauw”, karena berbagai macam acara di gelar seperti upacara pemberangkatan yang diiringi puluhan hingga ratusan orang. Jika telah pulang para jamaah haji seakan menyandang gelar Haji, dengan membawa oleh-oleh yang banyak dan syukuran haji yang menghabiskan dana tidak sedikit.

Namun alangkah ironis jika di sekelilingnya masih ada orang yang membutuhkan uluran tangan, ada orang yang tidak mampu untuk melanjutkan sekolah, anak jalanan, mushala yang rusak ataupun jalan kampung yang membutuhkan perbaikan.

Makna-makna ibadah haji akan terlihat jelas bila ditempatkan dalam perspektif gerakan kemanusiaan yang mengibarkan lambang abadi pesan egaliter sebagai salah satu manifestasi dalam doktrin monoteisme warisan Nabi Ibrahim, sang bapak spiritual dari seluruh agama tauhid. 

Dilihat dari aspek spiritualnya, ibadah haji merupakan pucak taqarrub illahiyyah (upaya pendekatan diri kepada Allah). Sedangkan dilihat dari aspek sosial edukatifnya, ibadah haji merupakan upaya pendekatan kemanusiaan. Dengan demikian dalam pelaksanaan ibadah haji, berpadu dua nilai, yaitu nilai moral spiritual dan nilai sosial.

Pelaksanaannya juga diorientasikan untuk menghayati perjuangan Nabi Ibrahim dalam melestarikan monumen ajaran tauhid (monoteisme), yang kemudian dilanjutkan oleh Nabi Muhammad Saw. Maka seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji harus mampu menghayati nilai-nilai suci didalamnya, nilai tersebut yakni; pertama nilai persamaan. Hal ini dapat diketahui dalam ritual ihram. Semua umat di wajibkan memakai lembaran kain berwarna putih yang bermakna persamaan tanpa membedakan ras, suku, bangsa, warna kulit mapun mahzab.

Kedua, persatuan. Terdapat dalam ritual thawaf, mengelilingi bersama-sama di bangunan ka’bah. Ka’bah yang merupakan satu-satunya arah kiblat bagi orang mu’min dalam melaksanakan ibadah shalat. Ini menunjukkan bahwa Allah adalah satu, yang menjadi tujuan dan pegangan hidup seluruh umat Muslim.

Ketiga, persaudaraan. Seseorang berkumpul disatu tempat dan dalam waktu yang sama, maka akan terbuka suatu kesempatan bagi mereka untuk bisa saling mengenal sehingga akan terjalin sebuah hubungan persaudaraan di antara mereka, dalam haji terdapat dalam wukuf di arafah, hajar aswad yang dilihat dari sejarah peletakan hajar aswad pada masa Nabi Muhammad Saw.

Keempat, kasih sayang, adapun nilai kasih sayang dalam ibadah haji dapat dilihat dari; Larangan dalam ihram, larangan bagi orang yang dalam keadaan ihram, yaitu larangan membunuh, berburu, menyembelih, ataupun larangan memotong atau merusak tanaman yang hidup di tanah haram. Berkurban yaitu dengan membagikan daging hewan kurban. Sa’i, yaitu ketika Hajar (ibu Ismail) merasa cemas akan nasib anaknya yang kehausan karena kehabisan persediaan air, maka Hajar-pun berlarian mendaki bukit Shafa dan Marwah utuk mencari air minum.

Ini merupakan sebuah isyarat rasa humanis (hubungan dengan sesama) dalam ritual ibadah haji. Seseorang yang sudah melaksanakan haji diharapkan mampu menerapkan keempat pesan suci ibadah haji yakni; persamaan, persatuan, persaudaraan, dan kasih sayang sebab di sekitar lingkugan masih banyak yang membutuhkan.

Ketika mampu menerapkan nilai-nilai tersebut, semoga para jamaah haji mendapatkan haji yang mabrur. Bukan haji mabur (Jawa: Terbang), yang hanya naik pesawat dari Indonesia menuju Arab Saudi.

* Aktif di PAC GP Ansor Genuk dan Pengasuh Rumah Pendidikan Sciena Madani. Weblog: www.mahasciena.com