Opini

Bersikap Khusyu' dalam Kacamata Psikologi

Kam, 12 April 2012 | 01:15 WIB

Oleh: Nur Haris Ali*)

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa.” (QS. Al Mu’minuun [23]: 1-6)

<>

Khusyu’ termasuk ibadah yang paling penting dan—beberapa orang menilai—sulit untuk dilakukan. Untuk menuju khusyu’ kita harus fokus pada tujuan, meninggalkan segala macam bentuk beban, dan kosentrasi penuh demi bertemu dengan apa yang ingin kita tuju. Namun demikian, khusyu’ ini bukan hanya sekadar ibadah saja rupanya. Ia juga memiliki beberapa manfaat lain dalam kacamata ilmu psikologi.

Terkadang orang mukmin menyangka bahwa Allah SWT memerintahkan kita khusyu’ hanya untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri.red) kepada-Nya. Entah itu dalam hal ibadah sholat, membaca kitab Al Qur’an ataupun hal-hal lain seperti membaca sholawat dan berdzikir. Namun tahukah kita bahwa sejatinya tidak demikian. Ada semacam syaitun ‘adzim (sesuatu yang agung. red) yang terkandung di dalam perintah khusyu’ tersebut.

Abdud Daim Al Kahil dalam bukunya “Metode Qur’ani Lejitkan Potensi” pernah menyebutkan bahwa ada sebuah penelitian yang menunjukkan hal baru seputar di balik perintah khusyu’ dan bagaimana manfaatnya. Dalam penelitian tersebut, istilah khusyu’ lebih sering disebut sebagai “meditasi”. Meski meditasi ini hanya sebatas dalam bentuk duduknya seseorang dengan memandang untuk memusatkan pikiran ke sebuah gunung, lilin, atau pohon tanpa bergerak dan tanpa berpikir. Hasil kesimpulan singkat dari para peneliti tersebut menyebutkan bahwa meditasi—yang dalam konteks Islam sering disebut khusyu’—memiliki manfaat yang sangat besar, antara lain meringankan rasa sakit fisik dan psikologis, serta menyelamatkan remaja dari narkoba.

Meringankan Rasa Sakit Fisik dan Psikologis

Tentu kita pernah mengalami rasa sakit. Kita juga tahu bahwa ketika seseorang mengalami rasa sakit, mereka akan langsung mengambil obat untuk menyembuhkannya. Namun apa jadinya ketika obat kimia pun gagal dalam mengobati beberapa penyakit?

Ini mungkin semacam alternatif bagi yang belum pernah mengalami atau tahu, namun sebenarnya, ini bukanlah alternatif—yang biasanya diidentikkan dengan jalan kedua setelah jalan pertama menemui titik buntuk pasca ditempuh. 

Al Qur’an, lagi-lagi telah menyebutkan bahwa ia berfungsi sebagai penyembuh (syifa’). Ia punya segudang syifa untuk menjawab semua penyakit yang kadang timbul karena kecerobohan manusia itu sendiri. Syifa lebih dari sekedar obat. Syifa adalah penyembuh. Dan jika obat hanya dapat menyembuhkan satu bagian tertentu dari tubuh atau jiwa manusia yang sakit, maka syifa memiliki sifat yang menyeluruh untuk menyembuhkannya.

“Dan kami turunkan dari Al quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra`: 82)

Sebuah penelitian baru menjelaskan bahwa, meditasi dapat mengobati penyakit kronis juga (Daim, 2011). Beberapa peniliti melakukan serangkaian eksperimen atas otak orang-orang yang diminta untuk mencelupkan tangan mereka ke dalam air mendidih. Aktivitas otak akibat dari sakit yang mereka rasakan berhasil diamati. Setelah itu eksperimen kembali diulang terhadap orang-orang yang biasa melakukan meditasi secara teratur (istiqomah.red). Ternyata, otak tidak menanggapi rasa sakit. Artinya, meditasi dapat memberikan pengaruh terhadap saraf sehingga mencegah rasa sakit karena rangsangan otak.

Lagi. Kali ini sebuah penelitian mengenai kanker, dimana penderita dengan kondisi bermeditasi yang tenang  dan khusyu selalu dibacakan ayat-ayat suci Al qur’an tiap pagi dan sore. Yang terjadi kemudian adalah sel DNA-nya “meledak” dan penderita itu sembuh (Daim, 2011). Sebetulnya jika kita faham, hal tersebut sudah ada di dalam Al-Qur’an. Bahwa Allah SWT menciptakan sel-sel manusia sesuai dengan ayat-ayat Al Qur’an. Jika kita salah memberi “asupan gizi” pada tubuh kita, maka sel-sel yang ada pada tubuh kita pun akan menolak. Sementara jika sel-sel manusia terlalu banyak menolak, ia akan menciptakan penyakitnya sendiri. Begitu pula jika kita kurang memberikan ”asupan” Al Qur’an bagi sel-sel dalam tubuh kita, dengan sendirinya maka jiwa dan raga kita pun akan lemah. Dengan begitu, kita mudah mendapatkan berbagai macam penyakit, baik fisik maupun psikologis.

Menyelamatkan Remaja dari Narkoba

Ada seorang terapis bernama Dr. Cucu Maesyaroh. Ia pernah mengikuti pelatihan shalat khusyu’ dan merasakan nikmat bermeditasi dalam kekhusyu’an. Dari pelatihan itu, ia jadi tergerak untuk meneliti lebih jauh pengaruh shalat khusyu’ kepada para pecandu narkoba yang dialami remaja. Terapis itu kemudian menangani anak-anak usia 16-24 tahun yang terjerat candu narkoba. Setelah diajari shalat khusyu’, para remaja itu mengatakan “Ini lho bu yang saya cari”. Ketika diamati lebih lanjut lagi, ternyata diketahui bahwa mereka semakin menikmati kekhusyu’an shalat mereka. Apa pasal?

Remaja yang mengkonsumi narkoba, bila ditanya alasan mengapa mengkonsumsi narkoba, maka jawaban yang muncul bisa karena ingin menghindari dan mengatasi stress. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Mereka mengkomsumi narkoba yang dicari adalah sensasi otaknya. Sensasi otak ini juga ada saat seseorang merokok, berdzikir, bahwan memancing. Sensasi berupa meditasi dalam bentuk ketenangan dan kenyamanan yang luar biasa itulah yang kemudian disebut dengan rasa nikmat.

Ketika seorang pecandu narkoba mulai berlatih shalat khusyu', maka saat itulah otak dipaksa tenang dari dalam. Semakin dilatih maka autoproduksi zat penenang endogen (seperti dopamine, serotonin, dan ekapamin) bisa pulih. Produksi zat endogen inilah yang digerakkan dan diatur Allah SWT untuk tidak berbahaya bagi tubuh, sehingga mereka berhenti dari konsumsi narkoba.

Mempraktikkan Khusyu’ dalam Kehidupan Sehari-hari

Jika kita sudah tahu manfaat dari khusyu’, maka yang kemudian jadi pertanyaan kita bersama adalah bagaimana mempraktikkannya?

Al Qur’an selain berfungsi sebagai pedoman umat muslim, ia juga merupakan sarana yang tepat untuk mempraktikkan khusyu’ kepada Allah SWT. Dalam konteks ini, hendaknya kita membenarkan pandangan yang kurang tepat bahwa khusyu’ hanya bisa dilakukan dalam hal sholat dan membaca Al Qur’an sehari semalam saja. Pandangan yang benar adalah khusyu’ adalah manhaj hidup orang mukmin yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Tidak hanya ketika sholat, tapi juga perbuatan yang lain. 

Orang mukmin sejati akan selalu khusyu’ dalam ibadahnya. Ketika sholat misalnya, maka ia akan menghayati tiap bacaannya. Ketika membaca Al Qur’an, maka ia akan menghayati pula cerita-cerita di dalamnya. Ketika bersedekah, maka ia juga akan memikirkan uang yang disedekahnya. Ketika mengunjungi orang sakit, maka ia pun akan memikirkan betapa pentingnnya sebuah kesehatan. Bahkan ketika bertransaksi bisnis pun, ia tak akan berhenti dari perasaan bahwa Allah SWT selalu mengawasi dan melihat dirinya, sehingga ia tidak menipu, melainkan selalu berlaku jujur agar di hari kiamat kelak dikumpulkan bersama orang-orang yang jujur.

Jika kita memperhatikan kehidupan para Nabi AS terdahulu, kita akan menemukan bahwa kehidupan mereka pun penuh dengan kekhusyu’an. Bahkan mereka selalu dalam keadaan khusyu’ tiap kali ada persoalan yang menimpa. Ini yang membantu mereka untuk mampu bertahan dan sabar menerima tiap kali ada cobaan. Mungkin, kita juga mengerti kenapa kemudian, para Nabi AS adalah orang yang paling sabar. Karena mereka mempraktikkan ibadah khusyu’ dalam segala hal.

Mari Berusaha Khusyu’

Oleh karena itu, sebagai seorang mukmin, mari berusaha untuk selalu khusyu’ dalam setiap ibadah kita. Ketika kita mendapati persoalan, sudah sepatutnya kita kembali bermeditasi, kita kembalikan semuanya kepada Dzat pemberi persoalan tersebut. Kita berdoa dan memohon perlindungan dari-Nya. Dialah yang memegang segala macam persoalan. Dialah juga yang menyembuhkan. Dan Dialah Yang Maha Pemberi ketenangan dan Dialah Yang Maha Pencabut segalanya. Semoga! Allaahummanfa’naa bi barkatiHhii. Wahdinal-Husnaa bi Hurmatihii. Wa Amitnaa fii ThoriqotiHhii. Wa Mu’aafaatin Minal-Fitani. Aamiiin. Al-Faatihah…

* Santri Pesantren UII, Mahasiswa Psikologi UII, dapat ditemui di www.haris-berbagi.co.cc