Obituari

Nyai Nafisah Rela LDR 2 Tahun dengan KH Sahal Mahfudh untuk Kuliah

Jum, 11 November 2022 | 13:30 WIB

Nyai Nafisah Rela LDR 2 Tahun dengan KH Sahal Mahfudh untuk Kuliah

Nyai Hj Nafisah bersama suami, almaghfurlah KH MA Sahal Mahfudh. Dokumentasi foto Maret 1988. (Foto: dok. Maslakul Huda)

Jika kita melihat struktur Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2022-2027, akan ada nama seorang perempuan bernama Nyai Hj Nafisah Sahal Mahfudh, yang duduk sebagai mustasyar (penasihat). Dari namanya itu, akan segera tahu bahwa beliau adalah istri almaghfurlah KH. MA. Sahal Mahfudh, Rais ‘Aam PBNU 1999-2014. Seperti apa sosok yang kerap memakai kerudung dan kebaya khas yang kini jarang dipakai perempuan itu?


Sejak kecil, darah ulama sudah mengalir dalam diri Nyai Nafisah. Ia lahir di Jombang, 8 Februari 1946 dari pasangan KH Abdul Fattah Hasyim dan Nyai Hj Musyarofah Bisri. Ayahandanya adalah pendiri Madrasah Mu’allimin Mu’allimat Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. Kiai Fattah juga dikenal aktivis NU sebagai guru KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam ilmu syariat. Sementara sang ibu merupakan pendiri Pondok Pesantren Putri Al-Fathimiyyah, Bahrul Ulum, Tambakberas. 


Menurut Hj Tutik Nurul Jannah, Nyai Nafisah memulai belajar kepada sang nenek, yaitu Nyai Hj Chodidjah, istri dari KH Bisri Syansuri Denanyar, Jombang. Kakek dan neneknya merupakan pendiri madrasah perempuan pertama di Jawa Timur. Nafisah kecil diasuh oleh kakek dan neneknya pada usia empat hingga delapan tahun.

 

Usai neneknya wafat, ia kembali ke Tambakberas dan dididik langsung oleh kedua orang tuanya. Di sana, Nafisah melanjutkan pendidikannya di Madrasah Mu'allimin Mu'allimat Bahrul Ulum. Setelah itu, ia melanjutkan Pendidikan di di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 


“Jadi, Bu Nyai Nafisah itu termasuk dari putri kiai yang di tahun 1966 itu mendapatkan kesempatan untuk kuliah,” tutur Tutik, dalam wawancara eksklusif kepada NU Online.


Ketika baru menempuh tahun kedua di kampus yang kini bernama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga itu, Nyai Nafisah menikah dengan Kiai Sahal. Untungnya, di awal pernikahan, kiai yang dikenal 'alim fiqih itu memberikan kesempatan kepada istrinya untuk tumbuh dan berkembang di kampus. Padahal, Kiai Sahal sendiri bukanlah seorang alumnus perguruan tinggi, pendidikannya murni pesantren.


“Mungkin kebanyakan orang akan berpikir ‘wah, aku saja enggak kuliah, ngapain istriku  tak kasih kesempatan kuliah?’ Tapi tidak dengan Kiai Sahal,” kata Tutik, yang baru-baru ini meluncurkan buku terbarunya, Kiai Sahal dan Nyai Nafisah: Beriringan, Saling Mendukung dan Saling Menguatkan. 


“Kiai Sahal bahkan rela untuk LDR, long distance relationship (hubungan jarak jauh) selama dua tahunan, untuk menunggu Bu Nyai Nafisah selesai kuliah, walaupun sudah selesai akad nikah,” imbuhnya.  


Di Yogyakarta, ia sempat diajar oleh KH M. Tolchah Mansur, KH Ali Maksum Krapyak dan Prof Hasbi Ash-Shiddieqy, tiga tokoh yang begitu dikenal masyarakat luas, khususnya warga NU. 


Setelah tinggal dan menetap, kemudian Nyai Nafisah mewujudkan idenya mendirikan pesantren Putri Al-Badi'iyyah, dengan terus dibersamai dan dukungan penuh suaminya. Di sini, ia mengajar dan mengasuh para santri.


“Sesuatu yang tidak bisa ditolak dari prinsip dasar Kiai Sahal untuk memberikan ruang bagi perempuan, baik untuk menempuh pendidikan, kemudian untuk mengoptimalisasikan potensinya, dan bagaimana perempuan itu bisa bermanfaat untuk masyarakatnya, untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya,” terang Tutik. 


“Beliau membersamai Bu Nyai Nafisah untuk tumbuh semacam itu, menurut saya yang luar biasa, dan mungkin tidak semua orang punya pemikiran (seperti) ini. Bayangkan di tahun 1966, di tahun 60-an, lho ya,” kata Tutik.


Nyai Nafisah tumbuh dan belajar berorganisasi dari Kiai Sahal. Tutik mengisahkan, saat awal-awal ibu mertuanya menjabat sebagai ketua Muslimat NU Kabupaten Pati, ia merasa tidak mampu. Tetapi yang menarik, Kiai Sahal memberikan dukungan dengan cara mengajak belajar dan mencarikan AD/ART. 


“Memegang organisasi itu yang pertama dilakukan adalah mempelajari AD/ART nya,” ungkap Kiai Sahal, seperti ditirukan Tutik.

 

Setidaknya tiga hal kunci yang disarankan dalam memimpin organisasi, yaitu menguasai AD/ART, bermusyawarah dan menyerahkan keuangan kepada bendahara (ketua tidak memegang uang sendiri).Nyai Nafisah pun tumbuh membuktikan diri menjadi pembelajar yang baik dalam organisasi. Di Muslimat NU Pati itu ia dipercara memimpin dua periode (1976-1982 dan 1982-1987).


Di tahun 1977, awal-awal fusi partai, ia juga menjadi anggota DPRD Pati. “Waktu itu beliau satu-satunya perempuan yang mewakili dari organisasi Islam, dari partai islam,” ungkap istri KH Abdul Ghaffar Rozin itu, memberi kesaksian.


Nyai Nafisah kemudian menjadi Ketua Muslimat NU Jawa Tengah dua periode (1993-1999 dan 1999-2005).  Tahun 2004 ia ikut bertarung dan terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) Republik Indonesia mewakili Jawa Tengah. Nyai Nafisah mendapat 1.767.178 suara, disusul H Budi Santoso 1.043.376 suara, Sudharto 1.007.669 suara, dan KH Achmad Chalwani 881.050 suara.


Tutik pun melihat bagaimana Kiai Sahal sangat menghargai atau memberikan kesempatan yang luas bagi perempuan untuk berkembang. “Jadi ketika Ibu Nyai Nafisah menjadi DPD-RI tahun 2004 dengan total suara terbanyak se-indonesia, sebetulnya bukan sesuatu yang instan, tidak mungkin tiba-tiba beliau muncul,” terang Tutik. 


Tak berlebihan, jika ia pernah mendapat penghargaan Eksekutif Berprestasi dan Citra Kartini Indonesia 2004, serta Man & Women of The Year pada tahun 2005.


Pada Kamis (10/11/2022) petang, kabar duka datang, bahwa Nyai Nafisah pergi ke haribaan ilahi. Banyak ucapan duka dari berbagai tokoh, organisasi dan tentunya para alumni. 


Melihat sekilas perjalanan hidupnya, ia merupakan sosok perempuan pembelajar, ulet, berani dan menjadi pemimpin di tengah masyarakat. Berapa santrinya menyatakan, ia seorang yang sangat perhatian. Banyak dari tindak-tanduknya yang perlu diteladani oleh kita semua, wabil khusus para kaum hawa. Laha, Al-Faatihah.


Penulis: Ahmad Naufa

Editor: Fathoni Ahmad