Obituari

Kedalaman Ilmu Prof Sri Mulyati Menjadikannya Narasumber Favorit Wartawan PBNU

Kam, 21 September 2023 | 16:15 WIB

Kedalaman Ilmu Prof Sri Mulyati Menjadikannya Narasumber Favorit Wartawan PBNU

Almarhumah Prof Dr Nyai Hj Sri Mulyati (tengah, barisan depan) saat pelantikan pengurus PP Muslimat NU pada 28 Maret 2017 di Masjid Istiqlal Jakarta. (Foto: NU Online/Fathoni)

Wartawan-wartawan di lingkungan PBNU, termasuk saya, tentu merasa kehilangan atas wafatnya Prof Dr Nyai Hj Sri Mulyati di Jakarta, Rabu (20/9/2023). Selain alim dalam keilmuan agama, ia juga memiliki wawasan luas dalam bidang keilmuan lain sehingga bisa langsung menjawab persoalan dengan konteks yang jelas ketika kami wawancarai. Jawabannya selalu dengan kejernihan dan kerunutan logika. Perpaduan itu menjadikan Sri Mulyawati sebagai salah satu narasumber favorit bagi para wartawan PBNU.


Bagi saya, Sri Mulyati adalah narasumber dan guru sekaligus. Saya sering merasa sedang mendapat “kuliah gratisan” tiap kali mewawancarainya. Ia tak membiarkan para wartawan bertanya dalam keadaan tak memahami persoalan. Maka kerap kali ia meluangkan waktu menyampaikan penalaran logis atas statemen yang dibangun dan menjelaskannya secara perlahan hingga kami paham. Bahkan jika kami belum paham, sementara penjelasannya terjeda oleh waktu salat, maka wawancara pun dilanjutkan setelah salat.


Saya sendiri memahami konteks dan operasional maqashid al-syar’iyah setelah wawancara cukup lama dengannya sekitar tahun 2019. Waktu itu sedang ramai-ramainya pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan Munas & Konbes NU hendak mengeluarkan rekomendasi tentang isu ini. Pembahasan mengenai RUU PKS sudah bisa saya pahami. Namun saya tertarik untuk memahami alur berpikir yang melahirkan rekomendasi tersebut. Akhirnya saya bertanya kepada Sri Mulyawati mengenai maqashid al-syar’iyah dan model operasionalnya.


Saya ingat, ia rela berlama-lama di ruangan hingga peserta rapat lain sudah pulang hanya untuk menjelaskan runutan hukum dan istinbat al-ahkam dalam perspektif maqashid al-syar’iyah. Di momen inilah saya menyaksikan kemampuannya yang eksepsional dalam menjelaskan dasar hukum agama hingga cara menjadikan hukum tersebut lebih operasional di masa kini. Sejak saat itu, saya merasa berutang kepadanya.


Saya melihat bahwa pengetahuan agama yang kuat, wawasan yang luas, logika yang jernih, dan komunikasi yang sistematis dalam diri Sri Mulyawati lahir dari proses intelektual yang dijalaninya. Ia menamatkan S1 di IAIN Syarif Hidayatullah, lalu meneruskan pendidikan master dan doktoral di Universitas McGill, Kanada, dan menempuh program pascadoktoral di Universitas Leiden, Belanda.


Dalam konteks aktivisme, ia tercatat menjadi aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) selama menempuh kuliah S1. Tentu saja di kemudian hari ia juga aktif dalam berbagai organisasi NU seperti Fatayat, Muslimat, Lembaga Bahtsul Masail, lalu menjadi A’wan PBNU. Saya yakin, proses panjang inilah yang membentuknya sebagai aktivis perempuan yang tangguh dalam berargumentasi di dalam forum-forum ilmiah.


Sebagai ulama yang sangat dihormati, ia merupakan narasumber yang mudah “ditodong” wawancara. “Ngobrol di sini saja atau di mana?” katanya saat diminta komentar. Sikapnya yang santai dan memudahkan kami yang diburu deadline membuat saya kian menghormatinya. Teman-teman di NU Online juga sering bertemu dengannya di ruang redaksi saat ia mencari tempat salat di sela-sela kegiatan atau rapat di lantai 5 PBNU.


Kini, Bu Nyai Sri Mulyati yang memiliki pemahaman luas, penjelasan enak, dan mudah dikontak itu telah meninggalkan kita. Kami tak hanya kehilangan seorang narasumber andalan dalam isu keadilan gender, namun juga kehilangan seorang guru yang mudah menyediakan waktu untuk kami wawancara sambil belajar gratisan.


Pada hari meninggalnya, di sebuah grup WhatsApp, Ketua PBNU Alissa Wahid menulis ungkapan bela sungkawa yang sangat tepat menggambarkan sosok Prof Sri Mulyati: “Saya bersaksi Ibu Sri Mulyati adalah orang yang baik, cerdas, dan menggunakan ilmunya untuk kemaslahatan sesama.”

 

Penulis: Ahmad Rozali

Editor: Ivan Aulia Ahsan