Nikah/Keluarga

Kapan Hak Pengasuhan Anak Dialihkan menurut Hukum Islam? 

Jum, 26 Maret 2021 | 13:15 WIB

Kapan Hak Pengasuhan Anak Dialihkan menurut Hukum Islam? 

Jika suami-istri berpisah dan mereka memiliki anak yang belum tamyiz, laki-laki atau perempuan, maka ibunya lebih berhak atas hak asuh anak tersebut daripada ayah.

Jika ibu atau kerabat perempuan si anak tidak ada, atau ada tapi tidak mau mengasuh, bolehkah hak pengasuhan dialihkan kepada laki-laki? Lantas siapa saja yang diprioritaskan?

 

Jawabannya, diperbolehkan. Adapun yang dahulukan adalah laki-laki yang mewariskan harta waris dan masih memiliki hubungan mahram sesuai urutan pembagian harta waris kecuali kakek. Ia didahulukan atas saudara laki-laki. Kemudian kepada laki-laki yang mewariskan harta waris tetapi tidak ada hubungan mahram sesuai urutan pembagian harta waris.  

 

Secara berurutan, laki-laki yang memiliki hak pengasuhan adalah  ayah, kemudian kakek dan terus ke atas, kemudian saudara laki-laki seayah-seibu, kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian keponakan dari saudara seayah-seibu, kemudian keponakan dari saudara seayah, kemudian paman seayah-seibu dari pihak ayah, paman seayah dari pihak ayah, kemudian anak paman (sepupu) yang seayah-seibu dengan ayah, kemudian anak paman yang seayah dengan ayah.

 

Jika kerabat si anak yang setara berselisih, di sana ada laki-laki dan perempuan, maka yang perempuan didahulukan atas laki-laki.  

 

فإذا استووا في القرب، وكانوا ذكوراً وإناثاً: كإخوة أشقاء وأخوات شقيقات، قدّم الإناث على الذكور، لما قلنا، من أن الحضانة بهنّ أليق، وهنّ لها أفضل.

 

Artinya: “Jika hubungan kekerabatan pemilik hak asuh setara, dan mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, seperti halnya beberapa orang laki-laki seayah-seibu dan beberapa orang perempuan seayah-seibu, maka dahulukanlah yang perempuan atas laki-laki, sebagaimana kami sampaikan. Sebab pengasuhan oleh mereka lebih lembut. Mereka lebih utama atas pengasuhan.” (Lihat: Musthafa al-Khin, al-Fiqh al-Manhaji, jilid 4, hal. 191).  

 

Kemudian, jika terjadi perselisihan di antara laki-laki dan perempuan yang masih kerabat si anak, maka dahulukan ibu, kemudian nenek dari pihak ibu, kemudian ayah, kemudian nenek dari pihak ayah, kemudian kakek dari pihak ayah, kemudian saudara perempuan seayah-seibu, kemudian saudara laki-laki yang seayah-seibu, dan seterusnya.

 

 

Pengalihan, pertimbangan, dan perselisihan hak asuh ini juga sudah diatur dalam KHI pasal 156 yang ditetapkan melalui keputusan meja Pengadilan Agama. Pasal tersebut berbunyi: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

 

  1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh (1) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu; (2) ayah; (3) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; (4) saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; (5) wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; (6) wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
  2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya; 
  3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
  4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
  5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).
  6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.  

 

Hanya saja, Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara spesifik yang berhak menyandang hak asuh anak yang belum tamyiz (di bawah 12 tahun). Pasalnya, baik ayah maupun ibu tetap bertanggung jawab atas hak asuh anak mereka. Adapun putusan pengadilan hanya bersifat menengahi perselisihan yang terjadi di antara suami-istri yang bercerai. Sebab, bila sengketa di antara mereka tidak diputuskan justru akan mengganggu psikologis dan masa depan si anak. Pertimbangan lainnya adalah kasih sayang kedua orang tua kepada anak tidak boleh dibatasi dan dihalangi oleh apa pun. Alangkah baiknya jika hak asuh disandang oleh keduanya. Sehingga, mereka bersepakat untuk mengasuh, membesarkan, merawat, melindungi, menumbuhkembangkan, dan mendidik anak mereka secara bersama-sama.

 

Pasal 41 Undang-undang No 1 Tahun 1974  telah mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian. Dalam pasal ini terlihat jelas tanggung jawab kedua orang tua dalam memikul hak asuh. Pasal itu berbunyi: Akibat putusnya perkawinan akibt perkawinan ialah:      

 

  1. Baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;   

 

Selanjutnya, para ulama menetapkan sejumlah persyaratan pemegang hak asuh, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai berikut: akil balig, merdeka, beragama kuat, mampu menjaga kehormatan diri, mampu menjaga amanah, menetap di suatu tempat, tidak bersuami lagi. Ulama lain juga mempersyaratkan sifat adil sebagai syarat hadhanah. (Lihat: al-Mawardi, al-Iqna, jilid 1, hal. 160). Wallahu a’lam.

 

 

Ustadz M Tatam Wijaya, Petugas Pembantu Pencatat Pernikahan (P4) KUA Sukanagara, Cianjur