Nikah/Keluarga

Istri Boros Sebabkan Perceraian?

Sen, 20 September 2021 | 03:00 WIB

Istri Boros Sebabkan Perceraian?

Masalah sepele bisa jadi akan menyebabkan rusaknya pernikahan jika tidak dikelola dengan baik, sebagaimana masalah istri boros sebabkan perceraian. 

Hidup berumah tangga tidak akan lepas dari masalah. Baik masalah ekonomi, kesehatan, percintaan, anak dan masih banyak lagi. Hubungan yang baik bukan berarti hubungan yang tanpa masalah. Fokus suami istri seharusnya bukan pada masalah yang terjadi, tapi bagaimana menghadapi dan menyelesaikannya. Masalah sepele bisa jadi akan menyebabkan rusaknya pernikahan jika tidak dikelola dengan baik, sebagaimana masalah apakah istri boros sebabkan perceraian. 


Ada yang menarik dari uraian Sayyid Muhammad ibn Alawi dalam kitab Adâbul Islâm fî Nidhâmil Usrah. Di sana beliau memaparkan berbagai masalah yang mungkin timbul dalam kehidupan rumah tangga yang berpotensi menjadi penyebab perceraian, di antaranya kebiasaan istri boros sebabkan perceraian. Istri boros membelanjakan uang karena ingin tampak sebagai wanita yang berada. Kalau menikah itu artinya menyatukan dua insan, apakah berdosa jika istri kemudian memakai harta suami untuk keperluannya? Bukankah sudah menjadi kewajiban suami untuk memberi nafkah istrinya? Bukankah harta suami sama dengan harta istrinya?

 


Salah satu keutamaan yang diberikan Allah pada kaum lelaki adalah kewajibannya memberi nafkah kepada keluarganya.


اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ 


Artinya: “Para suami itu pelindung bagi para istri, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (para suami) atas sebagian yang lain (para istri), dan karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS an-Nisa: 34)


Lantas, hak nafkah apa saja yang diterima istri? Dalam Al-Qur’an dijelaskan:

 

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ َ 


Artinya:  “Tempatkanlah para istri di mana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS ath-Thalaq: 6)

 


Sementara itu dalam riwayat sahabat Muawiyah bin Hidah al-Qusyairi ra diceritakan:


قُلْتُ : يَا رَسُول الله ، مَا حق زَوجَةِ أَحَدِنَا عَلَيهِ؟ قَالَ: ((أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طعِمْتَ، وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الوَجْهَ، وَلا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ)). (رواه أَبُو داود. حديثٌ حسنٌ)


Artinya: “Saya (Mu’awiyah bin Hidah al-Qusyairi ra) mengatakan: “Wahai Rasulullah, apa hak istri salah seorang dari kami padanya?” Beliau bersabda: “Kamu memberinya makan ketika kamu makan, memberinya pakaian ketika kamu berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak mencela wajahnya, dan tidak mengasingkannya kecuali di rumah.” (HR Abu Dawud. Hadits hasan).


Dari kedua keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa hak istri meliputi kebutuhan primer sandang, pangan dan papan, dan kebutuhan psikologi yaitu diperlakukan secara baik dan diberi kasih sayang. Selain itu beberapa ulama ada yang menambahkan nafkah istri dengan kebutuhan aksesoris, perhiasan, alat-alat rumah tangga, sampai mencarikan pembantu bagi istri. Semuanya disesuaikan dengan kemampuan suami dan kebiasaan atau tradisi yang berlaku di daerah tersebut. 

 


Lalu, bagaimana jika istri berlebihan dalam membelanjakan nafkah dari suami? Bagaimana bila istri boros sebabkan perceraian? 


Berkaitan hal Imam Al –Ghazali mengatakan:


ومن الواجبا ت عليها ان لا تفرط في ماله بل تحفظه عليه


Artinya, “Di antara kewajiban istri adalah tidak menghamburkan harta suami, akan tetapi wajib menjaganya.”(Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmiddîn, [Dârul Hadîts], juz II, halaman 67).


Karenanya, istri tidak boleh membelanjakan uang suami kecuali mendapat izin darinya. Apapun izin dalam hal ini ada dua macam, yaitu (1) izin yang jelas (sharîh); dan (2) izin yang dipahami dari kebiasaan, seperti memberi sepotong roti kepada peminta-minta dan semisalnya, di mana diketahui sesuai kebiasaannya bahwa suami merelakan pembelanjaan tersebut. Dengan begitu, telah diperoleh izin walaupun suamai tidak terang-terang mengucapkannya. (An-Nawawi, Syarhu Muslim, juz III, halaman 473).

 


Dengan begitu, istri yang boros dan suka menghamburkan uang suami, bisa dinilai dari dua sisi, yaitu (1) tidak berdosa jika suami mengizinkan dan sanggup memenuhi keinginan istrinya; dan (2) berdosa jika pemborosan itu tidak seizin suami. Sebab kewajiban istri adalah menaati suaminya, menerima nafkah dengan lapang dada dan mengelolanya secara baik. Apalagi kalau suami tidak mampu memenuhinya, dikhawatirkan suami akan mencari harta dengan cara yang tidak halal hanya untuk menuruti kemauan istri. Dalam kondisi yang kedua ini, bisa jadi menceraikan istri hukumnya menjadi sunnah, karena mempertahankan pernikahan akan lebih banyak madharat daripada maslahahnya. Di sinilah bisa jadi istri boros sebabkan perceraian. Wallâhu a’lam.

 

Ning Ummy Atika Anwar, Pengajar di Pondok Pesantren Assa'idiyyah Kota Kediri dan Narasumber Fiqih Keluarga di Aswaja Muda.