Nikah/Keluarga

Hak Nasab Anak dan Waris pada Suami-Istri

Sen, 15 Februari 2021 | 22:00 WIB

Hak Nasab Anak dan Waris pada Suami-Istri

Syarat ketiga usia anak yang dilahirkan minimal enam bulan sejak waktu berhubungan badan atau berduaan. Jika tidak, maka tidak bisa dinasabkan karena berarti kehamilan berasal dari laki-laki lain.  (Ilustrasi: gettyimages)

Sebelumnya telah diuraikan dua hak bersama suami-istri, yakni hak pergaulan yang halal nan makruf serta hak mahram. Pada kesempatan ini, akan diuraikan dua hak suami-istri berikutnya, yakni hak nasab dan hak waris.


1. Hak nasab


Hak bersama suami-istri selanjutnya adalah hak nasab atau garis keturunan. Ini artinya, siapa pun yang memiliki seorang anak dari hasil perkawinannya, baik suami maupun istri, maka ia berhak atas nasab anak tersebut.


Bahkan, di samping  menetapkan, syariat juga mengatur hak ini dengan ketat sehingga siapa pun tidak boleh menasabkan seorang anak kepada yang bukan haknya. Demikian halnya seorang laki-laki tidak boleh mengingkari anak yang lahir dari darah dagingnya. Hal ini berdasarkan hadits:


أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَدْخَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ فَلَيْسَتْ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ، وَلَمْ يُدْخِلْهَا اللَّهُ جَنَّتَهُ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ جَحَدَ وَلَدَهُ وَهُوَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ احْتَجَبَ اللَّهُ مِنْهُ وَفَضَحَهُ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ فِي الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ


Artinya, “Perempuan mana pun yang menasabkan seorang anak kepada kaum yang bukan dari kaum tersebut, maka ia tidak mendapat apa-apa (rahmat) dari sisi Allah. Dan Dia tidak akan memasukkan perempuan itu ke dalam surga-Nya. Begitu pula laki-laki mana pun yang mengingkari anaknya, sedangkan dia melihat kepadanya, maka Allah akan menghalangi diri darinya dan Dia justru akan membuka aibnya di hadapan seluruh makhluk, baik generasi awal maupun generasi akhir,” (HR Abu Dawud).


Selanjutnya hak nasab ditetapkan oleh tiga sebab. Pertama, pernikahan yang sah. Para ulama sepakat bahwa anak yang lahir dari seorang perempuan yang dinikah secara sah dinasabkan kepada laki-laki yang menikahinya, berdasarkan hadits, “Seorang anak milik yang empunya alas tidur.” Maksud alas tidur di sini adalah perempuan yang dinikah dan digauli suaminya. Namun, ditetapkannya hak nasab karena pernikahan yang sah harus memenuhi tiga persyaratan. 


Syarat pertama laki-laki yang menikahi si perempuan harus memungkinkan memberi keturunan, seperti sudah baligh dan normal secara seksual, minimal berusia 12 tahun menurut ulama Hanafi atau berusia 10 tahun menurut ulama Hanbali. 


Syarat kedua usia anak yang dilahirkan tidak kurang dari masa minimal kehamilan, yakni enam bulan sejak waktu pernikahan atau sejak dimungkinkan berhubungan suami-istri setelah pernikahan menurut jumhur ulama.


Artinya, jika anak yang dilahirkan kurang dari usia minimal atau kurang dari enam bulan, maka tidak bisa dinasabkan. Sebab, itu pertanda bahwa kehamilan terjadi sebelum pernikahan. Syarat ketiga adalah memungkinkan ada pertemuan antara suami dan istri.  


إذا تزوج امرأة وهوممن يولد لمثله وأمكن اجتماعهما على الوطء وأتت بولد لمدة يمكن أن يكون الحمل فيها لحقه في الظاهر لقوله صلى الله عليه وسلم: الولد للفراش 


Artinya, “Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, sementara laki-laki itu termasuk yang sudah bisa memberi keturunan, kemudian laki-laki dan perempuan itu memungkinkan untuk berhubungan badan, sampai akhirnya si perempuan melahirkan anak pada waktu yang memungkinkan untuk hamil, maka anak yang dilahirkan dinasabkan kepada si laki-laki berdasarkan zahir hadis Rasulullah saw, ‘Seorang anak milik yang empunya alas tidur.’” (Lihat Syekh Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Muhadzab, jilid II, halaman 120).


Adapun anak yang terikat pernikahan enam bulan dapat dinasabkan berdalilkan pendapat Ibnu Abbas. Diriwayatkan, ada seorang laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan. Kemudian, perempuan itu melahirkan kurang dari enam bulan sejak waktu pernikahannya. Laki-laki itu lantas mengajukan perkaranya kepada Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan. Sang Khalifah pun bermaksud merajam perempuan tersebut. Namun, Ibnu Abbas memberikan pandangan, “Seandainya perempuan itu mengadukan kalian kepada kitab Allah, niscaya kalian akan terkalahkan. Sebab, Allah berfirman, “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,” (Surat Al-Ahqaf ayat 15); dan Dia juga berfirman, “Menyapihnya dalam dua tahun,” (Surat Luqman ayat 14).


Kedua, pernikahan yang rusak.

Dalam penetapan hak nasab, sebagaimana pernikahan yang sah, pernikahan yang rusak juga harus memenuhi tiga syarat.


Syarat pertama laki-laki yang menikahi si perempuan harus memungkinkan bisa memberi keturunan, seperti sudah balig dan normal secara seksual.


Syarat kedua terbukti berhubungan badan atau berduaan dengan si perempuan. Jika tidak, maka tidak bisa dinasabkan.


Syarat ketiga usia anak yang dilahirkan minimal enam bulan sejak waktu berhubungan badan atau berduaan. Jika tidak, maka tidak bisa dinasabkan karena berarti kehamilan berasal dari laki-laki lain.      


Ketiga, senggama syubhat, yaitu senggama yang bukan perzinaan, bukan pula senggama yang bersandar pada pernikahan yang sah atau pernikahan rusak. Contohnya senggama seorang perempuan dengan laki-laki yang dikira suami yang menikahinya. Atau,  senggama seorang laki-laki yang mengira perempuan yang ada di tempat tidurnya sebagai istrinya. Atau, senggama seorang laki-laki dengan istri yang telah dicerainya dengan talak tiga di tengah masa iddah. Namun, si laki-laki berkeyakinan bahwa istrinya masih halal untuk dirinya. (Lihat: Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid X, halaman 7251).


2. Hak waris

Syariat mengatur, bila istri meninggal dan tidak memiliki anak, maka suami mendapat bagian setengah dari harta warisnya. Sedangkan jika si istri yang meninggal memiliki anak, maka suami mendapat seperempat dari harta warisnya.


Kemudian bila suami meninggal dan tidak memiliki anak, maka istri mendapat bagian seperempat dari harta waris. Sedangkan bila suami yang meninggal memiliki anak, maka si istri mendapat seperdelapan dari harta waris berdasarkan ayat: 


وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْن


Artinya, “Bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu,” (Surat An-Nisa’ ayat 12).


Demikian hak-hak bersama suami-istri setelah pernikahan. Adapun hak suami dan hak istri diuraikan secara terpisah pada penjelasan lainnya. (Lihat Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 153).  Wallahu a‘lam.


Ustadz M Tatam Wijaya, Petugas Pembantu Pencatat Pernikahan (P4) KUA Sukanagara, Cianjur.