Nikah/Keluarga

Hak Bersama Suami-Istri dalam Perkawinan

Sen, 15 Februari 2021 | 06:00 WIB

Hak Bersama Suami-Istri dalam Perkawinan

Keseimbangan hak dan kewajiban itu juga sudah ditegaskan dalam Al-Quran, “Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf,” (Surat Al-Baqarah ayat 228).

Usai akad nikah digelar, kewajiban suami-istri mulai berlaku. Ini berarti, masing-masing sudah bisa menuntut hak dan kewajibannya. Dalam kaitan ini, penulis Fiqhus Sunnah, Syekh Sayyid Sabiq, telah membagi hak ini menjadi tiga, yaitu hak suami, hak istri, dan hak bersama suami-istri, baik yang bersifat materi maupun yang immateri. (Lihat: Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid 2, hal. 153).


Namun, pembagian ini lebih cenderung untuk memudahkan penjelasan. Sebab pada dasarnya, wilayah hak dan kewajiban suami-istri merupakan wilayah beririsan dan timbal balik. Pasalnya, berbicara tentang hak istri, maka sama saja dengan berbicara tentang kewajiban suami. Begitu pula sebaliknya. 


Pada kesempatan kali ini, pembahasan tentang hak bersama suami-istri akan difokuskan pada dua hak saja, yaitu hak pergaulan yang halal nan makruf serta hak mahram. Sedangkan dua hak bersama lainnya akan diuraikan pada kesempatan berikutnya. 


1. Hak pergaulan suami-istri yang halal dan makruf menurut syariat


Secara spesifik, hak pergaulan suami-istri adalah terpenuhinya kebutuhan biologis dan terjaganya kehormatan diri dari perbuatan haram. Sebab walau bukan satu-satunya faktor, terpenuhinya kebutuhan ini melahirkan ketenangan batin dan kebahagian rumah tangga sehingga baik suami maupun istri harus berusaha memenuhi kewajiban masing-masing karena kewajiban itu merupakan hak bagi pasangannya.


Para ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan kewajiban ini. Ulama Maliki berpendapat suami diwajibkan mengajak istrinya berhubungan badan selama tidak ada halangan dan kapan pun membutuhkannya. 


Ulama Syafi’i menyebut kewajiban berhubungan badan ini hanya satu kali, sedangkan selebihnya adalah sunnah dan mubah. Pasalnya, yang mendorong hubungan badan adalah syahwat atau hasrat seksual sehingga bagaimana mungkin diwajibkan.


Kendati hukumnya sunnah, ulama Syafi’i setuju bahwa hubungan badan dilakukan selain untuk kemaslahatan suami-istri juga demi menolak mafsadat bagi keduanya. Sedangkan menolak kerusakan hukumnya wajib.


Sementara menurut ulama Hanbali, suami berkewajiban mengajak istrinya berhubungan badan setidaknya empat bulan sekali jika tidak ada halangan. Sebab, menyalurkan kebutuhan seksual adalah hak suami dan istri. Jika selama empat bulan, suami menolak memberikan nafkah batin ini tanpa alasan, maka keduanya boleh dipisahkan melalui talak sebagaimana dipisahkan karena alasan ila' atau menolak nafkah zahir.


Pendapat yang lain mengatakan bahwa kewajiban suami mengajak berhubungan badan sedikitnya adalah setiap masa suci, berdasarkan ayat: 


وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ 


Artinya, “Janganlah kamu mendekati mereka (wanita haidh), sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu,” (Surat Al-Baqarah ayat 222).


Selain itu, baik suami maupun istri juga berhak mendapat pergaulan atau perlakuan yang makruf. Dengan kata lain, memberi perlakuan yang baik menjadi kewajiban masing-masing.


Keseimbangan hak dan kewajiban itu juga sudah ditegaskan dalam Al-Quran, “Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf,” (Surat Al-Baqarah ayat 228). Namun, lanjutan ayat tersebut menyatakan bahwa para suami mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari istri karena tanggung jawabnya terhadap keluarga.


Selanjutntya, kewajiban suami memperlakukan istri secara makruf  juga ditetapkan dalam nas Al-Quran sebagai berikut:


وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا 


Artinya, “Bergaullah dengan mereka secara patu. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Surat An-Nisa’ ayat 19).


Termasuk perlakuan makruf suami adalah tidak melakukan ‘azal atau mengeluarkan sperma di luar kemaluan istri kecuali atas seizinnya. Ini artinya, jika tidak diinginkan istri, ‘azal tidak diperbolehkan, apalagi menggaulinya di saat haid atau melalui anus karena jelas-jelas melanggar hukum syariat. (Lihat: Syekh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, jilid II, halaman 153).


Adapun kewajiban istri memperlakukan suaminya secara makruf salah satunya didasari oleh hadits riwayat Ahmad dari sahabat Mu‘adz ibn Jabal. Dalam riwayat tersebut, Rasulullah SAW bersabda: 


لَا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ: لَا تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ؛ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا


Artinya, “Tidaklah seorang perempuan menyakiti suaminya di dunia kecuali istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, ‘Janganlah kaumenyakitinya. Semoga Allah membalasmu. Dia adalah tamumu yang sebentar lagi akan meninggalkanmu dan menjumpai kami,’” (HR Ahmad). (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid IX, halaman 6844-6847).


2. Hak mahram 

Ketika seorang laki-laki melangsungkan akad nikah, maka ibu mertuanya langsung menjadi mahramnya tanpa menunggu hubungan badan. Demikian pula ketika seorang laki-laki yang anak laki-lakinya melangsungkan akad nikah, maka menantu perempuannya langsung menjadi mahram. Atau ketika seorang laki-laki yang ayahnya melangsungkan akad nikah, maka ibu tirinya langsung menjadi mahram.


Walhasil, ketiga baris mahram ini, yakni mertua, menantu, dan ibu tiri, menjadi mahram tanpa menunggu hubungan badan. Sementara anak tiri perempuan akan menjadi mahram setelah ada hubungan badan dengan ibu anak tiri tersebut.


فَقَدْ ذَهَبَ الْفُقَهَاءُ إِلَى أَنَّ الْعَقْدَ الصَّحِيحَ مُثْبِتٌ لِحُرْمَةِ الْمُصَاهَرَةِ فِيمَا سِوَى بِنْتِ الزَّوْجَةِ وَهِيَ الرَّبِيبَةُ وَفُرُوعُهَا وَإِنْ نَزَلَتْ فَإِنَّهُنَّ لاَ يَحْرُمْنَ إِلاَّ بِالدُّخُول بِالزَّوْجَةِ


Artinya, “Para ulama fikih berpendapat bahwa akad yang sah menetapkan status mahram karena pernikahan kecuali anak dari istri atau anak tiri serta anak-cucunya, meski terus ke bawah. Mereka tidak menjadi mahram kecuali setelah ada hubungan badan dengan istrinya (maksud istri di sini ibu dari anak tiri),” (Lihat Al-Mausu‘atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid XXXVII, halaman 368).


Pertanyaannya, mengapa ibu mertua, misalnya, langsung menjadi marham menantu laki-lakinya walaupun baru sekadar akad, sedangkan seorang anak perempuan tidak langsung menjadi mahram sampai ayah tirinya berhubungan badan dengan ibunya? 


Syekh Abu Bakar bin Muhammad Al-Hishni menjawab, karena seorang laki-laki yang sudah menikah biasanya dituntut untuk berinteraksi dengan ibu mertuanya walaupun baru selesai akad. Makanya seorang ibu mertua langsung dijadikan mahram dengan menantu laki-lakinya agar keduanya memungkinkan berkomunikasi lebih longgar. (Lihat Kifayatul Akhyar, jilid I, halaman 364).  Demikian dua hak bersama suami-istri dalam perkawinan perkawinan. Wallahu a'lam.


Ustadz M Tatam Wijaya, Petugas Pembantu Pencatat Pernikahan (P4) KUA Sukanagara, Cianjur