Nasional

Watak Warga NU Tergantung Kontrol Ulama dan Kiai

NU Online  ·  Kamis, 24 Mei 2012 | 05:07 WIB

Demak, NU Online
Orang yang bisa dikatakan Ahlussunnah wal Jamaah bila orang tersebut bisa memahami, melaksanakan dan memegang pokok pokok masalah agama yang bersumber dari salah satu madzhab empat yang selama ini dipegang dan sebagai rujukan oleh ulama Nahdlatul Ulama serta furu.
<>
Hal itu disampaikan Kiai Ubaidillah Shodaqoh, wakil rais syuriyah PWNU Jawa Tengah dihadapan 800 an peserta workshop Aswaja yang diselenggarakan oleh PCNU Demak setelah acara pembukaan konferensi NU Cabang Demak 19-20/5 di Kampus MANU Demak Jl Glagah Wangi no 1 Bintoro Demak.

“Indikator masalah pokok (usul fiqihi akbar) dari imam empat yaitu Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Abu Hanifah serta furu’ yang menjadi pedoman warga NU,” jelas Kiai Ubaidillah.

Lebih lanjut kiai Ubaidillah Shodaqoh menambahkan di dalam perjalanan hidup manusia sebagai kholifah dimuka bumi pada dasarnya mempunyai sifat yang sama dengan sifat yang ingin selalu menang, memimpin, keras tak terkecuali warga NU, namun itu semua tergantung pada lingkungan, pendidikan dan para pemimpin yang dianutnya, adapun untuk warga NU akan berkiblat pada ilmu dari para ulama dan kiai.

“Aslinya NU itu keras, akan tetapi karena masih dipantau oleh para ulama dan kiai, sehingga berdasarkan ideologi dan tawadhu’nya akhirnya terkendali di dalam kehidupannya,” tambah kiai Ubaidillah Shodaqoh.

Khidmah Kebangsaan

Narasumber kedua yang juga selaku wakil ketua PWNU Jateng H Abu Hafsin lebih menyoroti kiprah dan peran serta NU dalam membangun Indonesia dimana sejak awal kiprahnya NU merupakan organisasi sosial keagamaan yang bercita cita mengembangkan pemahaman, sikap keberagaman dan membangun masyarakat Islam yang inklusif dan toleran terhadap budaya lokal, yang mudah diterima dan dicerna oleh umat bahkan saat pilar pilar kebangsaan harus diterima sebagai kenyataan politik, NU tidak mengalami konflik idiologi yang berarti karena NU dianggap mampu menafsirkan Islam sesuai dengan situasi, waktu dan tempat

“Sebagai penganut Islam Aswaja, NU memang telah mengembangkan pola pemahaman keagamaan yang lebih bernuansa Islami lokal daripada Islam yang berbau ke-Arab-an dan ini yang mudah diterima oleh umat, itulah pandainya NU dalam menafsirkan Islam sesuai kebutuhan, situasi dan tempat,” papar Abu Hafsin.

Sebagaimana dimaklumi, lanjut Abu Hafsin, bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk baik dari sisi bahasa, suku, ras, adat istiadat maupun agama yang bisa melahirkan akibat ganda, disamping  anugerah yang patut disyukuri karena merupakan kekayaan bangsa juga bisa sebagai bencana baik, sosial, politik maupun kemanusiaan makanya tidak bisa dipungkiri kalau Indonesia rawan konflik maupun disintegrasi, disinilah menurutnya NU tampil untuk mencoba memperjuangkan tegaknya NKRI sebagai negara yang bercirikan pluralisme dan multikulturalisme

“Keterlibatan NU dalam membangun bangsa terjadi sejak Republik ini belum lahir, muktamar NU XVI  di Banjarmasin tahun 1935 dengan menampilkan dirinya sebagai organisasi Islam yang tampil dengan kelenturan doktrinalnya bahkan mendapatkan pengakuan dari pemerintahan Orde Baru melalui ucapan presiden Soeharto,” jelasnya.

Workshop yang dimoderatori Abdurrahman Kasdi tersebut yang diikuti 800 an peserta berlangsung sampai larut malam yang mengerucut pada peran NU yang barhaluan Aswaja dalam membangun warga negara khususnya umat Islam yang baik dari sisi agama dan sudut pandang warga negara. Jadi bagi NU, agamisme, nasionalisme dan pluralisme bisa dipadukan, dan NU dalam metodologinya selalu berpegang pada tawasut, tawazun, tasamuh dan i’tidal.



Redaktur     : Mukafi Niam
Kontributor : A.Shiddiq Sugiarto