Nasional

Usulan Perubahan Rancangan Perpres Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama Demi Kehidupan Lebih Inklusif

Ahad, 13 Agustus 2023 | 18:00 WIB

Usulan Perubahan Rancangan Perpres Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama Demi Kehidupan Lebih Inklusif

Foto bersama usai Diskusi SETARA Institute dan INFID di Jakarta, Sabtu (12/8/2023).

Jakarta, NU Online

Pemerintah saat ini dalam proses meningkatkan pengaturan mengenai Kerukunan Umat Beragama/Berkepercayaan (KUB) dari Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No 9 dan No 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat menjadi Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB) yang dikoordinatori oleh Kementerian Agama (Kemenag).


Akan tetapi, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh SETARA Institute bersama dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) perlu disempurnakan lagi, agar tercipta kerukunan beragama yang lebih inklusif.
 

“Kami melihat sebetulnya Perpres ini sebuah progresifitas hukum, karena kalau di PBM cukup banyak mengandung diskriminasi. Perpres ini menjadi langkah positif, hanya saja ternyata ada beberapa catatan catatan yang menurut kami itu sejatinya perlu untuk disempurnakan lagi,” ujar Peneliti SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah pada Konferensi Pers “Laporan Usulan Pasal pada Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama” di Hotel Ashley, Jakarta, Sabtu (12/8/2023).


Dari pengkajian terhadap 36 pasal di dalam Ranperpres, SETARA Institute, INFID, bersama dengan para majelis agama dan kepercayaan, dan masyarakat sipil mengusulkan 21 perubahan yang mencakup empat poin utama.


“Kami di sini ingin menegaskan bahwa ini sebetulnya saran masukan dari para majelis agama dan kepercayaan. Jadi kami SETARA Institute dan INFID sebetulnya hanya sebagai jembatan untuk memfasilitasi usulan-usulan yang sebetulnya dari proses panjang yang diusulkan oleh para majelis agama dan kepercayaan dan juga beberapa kelompok jaringan masyarakat sipil,” terangnya.
 

Empat poin tersebut, pertama berkaitan dengan inklusi penghayat kepercayaan di dalam Ranerpres PKUB, agar pemerintah secara eksplisit memasukkan norma-norma yang nantinya akan berdampak pada upaya jaminan perlindungan dan penghormatan terhadap hak hak kebebasan beragama dan berkeyakinan kelompok-kelompok kepercayaan.


“Kemudian yang kedua adalah integrasi tata kelola pemerintahan inklusif, karena kalau tadi sempat disinggung juga di dalam PBM tahun 2006 itu pengaturan mengenai kepala daerah itu masih sangat minim. Sehingga harapannya di dalam Perpres PKUB ini kami bisa mengintegrasikan tata kelola pemerintahan inklusif sebagai suatu upaya penguatan kepala daerah yang memang sebetulnya tugasnya adalah dalam pengelolaan dan pemeliharaan kerukunan,” jelasnya.
 

Ketiga, transformasi pengaturan pendirian rumah ibadah, agar mempermudah kelompok-kelompok agama dan kepercayaan untuk mendirikan rumah ibadah.


“Ini juga yang cukup menjadi poin yang sangat substansial yang kami usulkan mengingat di dalam PBM tahun 2006 seringkali itu menjadi alat untuk menghambat kelompok kelompok, terutama minoritas agama untuk mendirikan pendirian rumah ibadah. Sehingga harapannya melalui usulan yang kami tawarkan di dalam konteks pengaturan pendirian rumah ibadah itu benar benar mempermudah nantinya kelompok kelompok agama dan kepercayaan untuk mendirikan rumah ibadah,” terangnya.


Keempat reformasi kelembagaan Forum Kerukunan Umat Beragama FKUB, diantaranya substansi terkait dengan keanggotaan FKUB. Jadi di misalkan di PBM tahun 2006, kepercayaan tidak secara eksplisit diatur dalam keanggotaan FKUB.


“Di beberapa daerah sebetulnya pada implementasinya kelompok penghayat kepercayaan ini sudah dimasukkan di dalam anggota FKUB. Tetapi Faktanya masih sangat jarang gitu, sehingga kami harapannya di Raperpres mencantumkan adanya klausul penghayat kepercayaan sebagai unsur keanggotaan dalam FKUB itu bisa benar-benar menampung dan menjadi akomodir terhadap aspirasi di dalam kelompok masyarakat itu sendiri di dalam struktur FKUB,” jelasnya.
 

Selanjutnya Program Officer INFID, Rizka Antika mengungkapkan data longitudinal dari SETARA Institute, menggambarkan bahwa setidaknya di tahun 2007 sampai 2022 ada 573 gangguan untuk peribadatan dan juga tempat ibadah. Hal tersebut merupakan dampak-dampak adanya peraturan diskriminatif, salah satunya diatur dalam dalam PBM tahun 2006, di mana ketika ingin melakukan pendirian rumah ibadah harus ada dukungan 60 orang dari luar jemaat dan juga 90 orang dari jemaatnya sendiri.


“Nah ternyata ini memang terbukti bahwa memberikan hambatan bagi teman teman untuk mendirikan rumah ibadah. Oleh karena itu, dari hasil diskusi berkepanjangan kami, kami merumuskan beberapa, diantaranya ada 3 poin, pertama yakni penegasan bahwa sebenarnya syarat 60 orang itu dapat berasal dari agama yang sama, karena seringkali diinterpretasikan bahwa 60 Harus berasal dari luar agama Jemaah yang ingin mendirikan rumah ibadah,” ujarnya.


Kedua, adanya sanksi bagi kepala daerah yang tidak memberikan keputusan perihal pendirian rumah ibadah dalam waktu lebih dari 90 hari. Ketiga, perluasan subjek pemohon rumah ibadah. Keempat, reformasi kelembagaan FKUB, di antaranya terkait dengan urgensi fungsional maka FKUB nasional tidak perlu, penguatan peran FKUB, peningkatan keterlibatan perempuan dalam anggota FKUB, pemilihan untuk anggota FKUB harus melalui pemilihan yang terbuka dan proses seleksi.


“Kami dari perwakilan masyarakat sipil dan juga perwakilan dari majelis agama dan kepercayaan merumuskan beberapa usulan perubahan dan merekomendasikan beberapa poin yang pertama kami tujukan kepada bapak presiden. Setidaknya 3 poin, yang pertama perlu sekali memberikan perhatian terhadap peraturan mengenai pemeliharaan kerukunan umat beragama yang lebih inklusif serta sesuai dengan Pancasila dan undang undang dasar.”


“Yang kedua, perlunya membuka ruang dialog bermakna tentunya untuk menghimpun berbagai masukan dari para pihak, baik dari kelompok minoritas khususnya dan juga majelis agama dan kepercayaan, serta masyarakat sipil perlu dilibatkan. Dan yang ketiga ini Kementerian Agama dan jajaran kementerian terkait terlibat untuk segera melakukan revisi terhadap Ranperpres PKUB tahun 2003. Dan khusus untuk rekomendasi saya mendorong Kemenag untuk mengadopsi usulan usulan perubahan terhadap,” pungkasnya.


Sementara itu Kepala PKUB Kementerian Agama, Wawan Djunaedi menjelaskan bahwa perjalanan Ranperpres PKUB sudah sangat panjang, izin prakasanya sudah mulai tahun 2020 dan mengundang seluruh majelis agama dalam pembahasannya.


“Jadi draf yang masuk ke Kementerian Hukum dan HAM itu sudah masuk tahap harmonisasi, itu sudah hasil pembahasan dengan majelis-majelis agama, semuanya kita undang mulai dari MUI, NU, Muhammadiyah bahkan teman-teman kristen itu lengkap semuanya, mulai dari PGI, PGPI. Lalu juga Budha, Hindu, Konghucu. Itu kita undang semuanya,” ujarnya,


Ia mengungkapkan bahwa draf awal berubah setelah dibahas bersama-sama dengan majelis agama dan ormas keagamaan, karena itulah yang memang diinginkan oleh Pak Menteri Agama agar jangan sampai rancangan presiden tidak mendengar aspirasi pemangku kepentingan khususnya umat beragama.


“Alhamdulillah munculah draf itu dan dilakukan harmonisasi di tingkat Kemenkumham. Nah, sekarang sudah pada tahap akhir, kita mendapatkan lagi masukan yang secara garis besar alhamdulillah saya lihat semangatnya sudah sama. Kalau saya lihat tadi usulannya sangat detail,” ungkapnya.


Kontributor: Malik Ibnu Zaman