Nasional RISET BALITBANG KEMENAG

Upaya Peningkatan Pendidikan Agama di Kawasan 3T

Jum, 11 Oktober 2019 | 12:35 WIB

Upaya Peningkatan Pendidikan Agama di Kawasan 3T

Para siswa SMP Emeyodere Papua Barat bersama guru Bina Kawasan 3T Kemenag 2017 (Foto: NU Online/Siti Nur Syamsiyah)

Indonesia adalah negara yang tersusun dari beragam suku, ras, dan agama. Sebagaimana mafhum, Indonesia tergolong pada negara maritim yang penduduknya tak hidup dalam satu bentangan tanah luas yang mudah diakses. Mereka, warga Indonesia yang terpencar di 17.504 kepulauan dari Sabang sampai Merauke terpisahkan oleh lautan, selat, bahkan pegunungan yang kesemua masyarakatnya memiliki suku, ras, dan agama beranika ragam.
 
Teritori Indonesia yang tercecer dan terpisahkan menjadi pulau-pulau kecil adalah tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Pemerintah mesti mampu memperlakukan mereka serta memberi haknya secara sama-rata, termasuk dalam pendidikan. Sebab, hal itu telah menjadi amanat besar Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1.
 
Sejauh usaha pemerintah memberi akses pendidikan yang sama-rata kepada seluruh warganya, riset Balai Litbang Agama (BLA) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, tahun 2018 menemukan beberapa fakta kendala serta juga faktor pendukung dalam proses pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kawasan timur Indonesia. Temuan itu adalah sebagaimana berikut:

Pertama, pelaksanaan Pendidikan Agama, khususnya Pendidikan Agama Kristen di Provinsi Maluku, Kabupaten Buru, belum berjalan secara maksimal. Salah satu faktor kendalanya adalah tidak adanya guru agama Kristen di sejumlah sekolah yang menjadi objek penelitian. Tenaga pengajar yang ada hanyalah seorang guru yang beragama Islam. Dan, itu pun hanya berdasarkan instruksi dan penunjukan oleh kepala sekolah.

Dalam proses pembelajaran yang dipraktikkan, beberapa guru agama di Kabupaten Buru masih menggunakan pendekatan dan metode yang konvensional. Proses pengajaran ilmu agama masih menggunakan fasilitas keagamaan yang serba kekurangan. Selain itu, kendala berikutnya adalah peran orang tua dalam pembinaan keagamaan yang masih rendah.  

Namun demikian, bersamaan dengan kendala tersebut, pendidikan keagamaan masih terus berjalan hingga hari ini. Beberapa faktor pendukungnya meliputi: kondisi sosial masyarakat yang kondusif, keterlibatan tokoh agama dan tokoh masyarakat, kegiatan keagamaan di luar sekolah, peran 'Guru Garis Depan', dan dukungan masyarakat dan pemerintah turut mendukung keberlangsungan  kegiatan belajar mengajar selama ini. 

Kedua, pelaksanaan Pendidikan Agama di Kabupaten Talaud Provinsi Sulawesi Utara belum stabil. Kondisi ini dapat terlihat dari keterbatasan sarana dan prasarana pembelajaran, kurangnya tenaga pengelola (guru) agama serta ruang  pembelajaran yang masih sangat terbatas sekali. Selin kendala sarana dan prasarana, juga terdapat hambatan faktor kesejahteraan tenaga pengajar yang masih minim. Karier dan kesejahteraan guru agama (PAK dan PAI) masih banyak yang berstatus honorer.

Selain di Kabupaten Buru, Maluku dan di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, riset juga dilakukan di Kecamatan Klaomono, Kabupaten Sorong. Di kawasan ini, tim riset Balitbang mendapati fakta bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, Kristen, dan Katolik masih menggunakan kurikulum KTSP dan K13 baik pada satuan pendidikan dasar maupun menengah  yang masih mengalami banyak hambatan. Beberapa di antaranya adalah kurangnya tenaga pendidik dan kependidikan; media pembelajaran (buku pegangan bagi guru, buku paket bagi peserta didik, dan alat belajar; dan akses sekolah untuk memperoleh berbagai informasi, telepon maupun akses internet.
 
Bersamaan dengan ini, tim riset juga mendapati sejumlam faktor pendukung yang mestinya perlu terus ditingkatkan. Beberapa faktor perdukung tersebut di antaranya adalah adanya dana BOS penggunaannya agar disesuaikan dengan kebutuhan; motivasi dan semangat para pendidik yang terus berupaya agar peserta didik dapat memperoleh pengetahua; animo peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Selanjutnya, di Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara tim riset BLA Makassar menemukan tenaga pengajar, guru yang ditugaskan mengajar ilmu agama, sebenanrya tidak memiliki kompetensi Pendidikan Agama yang cukup. Naifnya, guru tersebut berstatus PNS. Itu artinya pemilihan tenaga pengajar Pendidikan Agama yang dilakukan oleh pemerintah tidak tepat sasaran.

Tawaran Solusi
 
Menyikapi hal tersebut, tim peneliti merekomindasikan empat hal yang mesti dipenuhi untuk meningkatkan pendidikan di daerah 3T yang telah disebutkan. Pertama, Guru Pendidikan Agama harus mengenal peserta didik secara mendalam terutama karakter dan latar belakang orang tua mereka dalam pendidikan agama dan keagamaan di keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan keseriusan pengawasan dan bimbingan dari lembaga sekolah kepaa peserta didiknya.
 
Kedua, Guru Pendidikan Agama diharapkan menguasai secara baik bidang studi pendidikan agama yang bersifat ilmu (disciplinary content) maupun bahan ajar dalam kurikulum sekolah. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada guru agama untuk mengembangkan pengetahuan, wawasan, dan pola pandangnya melalui diklat peningkatan kompetensi tim pengajar dan berbagai kegiatan ilmiah lainnya. Rekomindasi dan tawaran solusi ini berkaitan dengan Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Agama untuk melakukan koordinasi dalam rangka mengadakan program peningkatan SDM tenaga pengajar serta pengangkatan guru Pendidikan Agama baru di berbagai sekolah yang  masih dinilai kurang mampu.

Ketiga, Guru Pendidikan Agama harus melaksanakan dengan penuh tanggung jawab dalam penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik. Tahap ini meliputi perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi proses dan hasil belajar, serta tindak lanjut untuk perbaikan dan pengayaan mesti dilakukan dengan serius. Rekomindasi dan solusi ini berkaitan erat dengan pengadaan dan pendistribusian buku-buku bahan ajar secara merata, peningkatan sarana dan prasarana sekolah serta peningkatan honor guru agama untuk menjamin kesejahteraannya.
 
Keempat, pengembangan kepribadian dan profesionalitas secara berkelanjutan. Karena hanya guru yang memiliki kompetensi tinggi yang dapat melaksanakan tugasnya secara profesional. Untuk melaksanakan rekomendasi ini perlu pelibatan sarjana atau guru yang berlatar belakang disiplin ilmu Kependidikan Agama pada program SM-3T dan program GGD harus ditingkatkan.

Penulis: Ahmad Fairozi
Editor: Kendi Setiawan
Â