Tangerang Selatan, NU Online
Saat Khilafah Utsmani runtuh, negara pecahannya berubah. Arab menjadi puritan, Mesir menjadi modernis, dan Turki sebagai ibu kotanya menjadi sekuler.
Indonesia muncul sebagai penerus tongkat estafet keilmuan Turki Utsmani meskipun tidak mengadaptasi sistem kenegaraannya, yakni khilafah.
"Yang melanjutkan tradisi intelektual Utsmani yang tradisionil dan Ahlussunah wal Jamaah itu siapa?" Tanya Ahmad Ginanjar Sya'ban saat mengisi diskusi rutin di Islam Nusantara Center (INC) Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (1/9). Â "Ulama Nusantara," jawabnya sendiri.
Makanya, tak aneh jika kurikulum pesantren tradisional dengan kurikulum zaman Utsmani sebelum sekuler itu memiliki kesamaan.
Direktur INC itu juga menjelaskan, bahwa Indonesia dan Turki memiliki kesamaan pada sisi tasawufnya yang menganut tasawuf akhlaki dan tasawuf yang dilembagakan, yakni tarekat. Sementara bidang aqidahnya, masyarakat Nusantara mengikuti paham Asyariyah, sedangkan Turki Maturidiyah. Dalam bidang fiqihnya, bangsa Indonesia mengikuti ijtihad Imam Syafi'i, sedang Turki mengambil pandangan Imam Hanafi.
Pendirian NU sebagai Respons Internasional
Saat imperium Ottoman runtuh, jelasnya, terdapat dua kerajaan di Arab, yakni Hijaz dan Najd. Kerajaan terakhir ini, menurutnya, setahun kemudian (1925) dapat menaklukkan Haramain.
Karena itu, para kiai khawatir tradisi keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah yang ada di Haramain itu hilang karena pengaruh Najd yang wahabi. Komite Hijaz dibentuk untuk mengatasi hal tersebut.
"Untuk menyelamatkan tradisi keilmuan yang ada di Hijaz di Makkah agar tidak hilang ketika dikuasai Saudi," katanya.
NU memproklamirkan untuk meneruskan tradisi keilmuan dan tradisi keagamaannya. "Muludannya dipertahankan, ziarah kuburnya dipertahankan. Termasuk model berpikir ala mazhab empat itu dipertahankan di sini," ujar Ketua Program Studi Sarjana Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta itu.
Jadi, menurutnya, NU didirikan itu bukan untuk merespons organisasi modernis yang muncul lebih dulu di Indonesia.
KH M Hasyim Asy’ari atau Mbah Hasyim ketika disowani KH Abdul Wahab Chasbullah (Kiai Wahab), ceritanya, ditanya perihal apakah perlu buat organisasi serupa. "Gak perlu. Biarkan saja. NU secara tradisi sudah mengakar ratusan tahun," kisahnya.
Diskusi bertema Islam Nusantara dan Poros Studi Islam itu juga menghadirkan Ulil Abshar Abdalla dan Zainul Milal Bizawie. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)