Nasional

Ujian Pilkada, NU Harus Menyapih Kepentingan Politik Praktis

Sab, 5 September 2020 | 01:30 WIB

Ujian Pilkada, NU Harus Menyapih Kepentingan Politik Praktis

Wakil Ketua PWNU Jatim, KH Abd A'la Basyir (kanan) pada kegiatan yang digelar di aula PCNU Sumenep. (Foto: NU Online/Habib)

Sumenep, NU Online

 

Sejumlah kawasan di Indonesia akan segera melaksanakan pemilihan kepala daerah atau Pilkada langsung. Warga Nahdlatul Ulama yang tersebar di berbagai tempat adalah potensi sangat menggiurkan untuk menggalang suara.

 

Di sinilah diperlukan kedewasaan dan ketegasan NU untuk tidak mudah terombang-ambing oleh kepentingan sesaat. Jamaah dan jamiyah harus diselamatkan agar lebih fokus kepada kegiatan yang memang diagendakan.

 

Penegasan disampaikan Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, KH Abd A’la Basyir pada halaqah di aula kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep, Jumat (4/9).

 

Kiai yang lebih bangga disebut khadim Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep ini pun berpesan bahwa NU harus mampu menyapih kepentingan politik praktis.

 

“Karena apabila hal ini dibiarkan, akan membuat jamaahnya kehilangan kepercayaan kepada NU, kendati pun ini dilakukan oleh oknum-oknum tertentu,” tegasnya.

 

Guru besar Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya ini juga berpesan bahwa program NU harus selaras dengan permasalahan riil Nahdliyin. Semisal dalam hal kesulitan ekonomi dan akses pendidikan dan kesehatan yang terbatas.

 

"Karena NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, hendaknya menjadikan isu kerakyatan di akar rumput sebagai isu utama. Jangan sampai, para pengurus hanya mengedepankan kepentingan pribadi belaka," ungkapnya.

 

Kiai A'la sangat berharap, Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) yang secara geografis bersinggungan langsung dengan masyarakat hendaknya memberikan pengajaran dan pendidikan yang baik kepada masyarakat. Juga melakukan upaya pencegahan apabila ada tetangga yang didekati oleh kelompok lain.

 

Kiai A'la juga mengingatkan peserta halaqah dengan tulisan KH Wahab Hasbullah yang menyatakan bahwa NU kuat. Kekuatan NU ibarat senjata adalah meriam. Tetapi digoncangkan hati mereka oleh propaganda luar yang menghasut seolah-olah senjata itu bukan meriam, tetapi hanya gelugu alias batang kelapa sebagai meriam tiruan.

 

"Kita sebagai Nahdliyin harus menyadari kekuatan kita. Jangan sampai terhasut oleh propaganda yang disusun oleh kelompok luar. Akan tetapi, kendatipun kekuatan kita cukup besar, jangan sampai kita terlena dengan statistik tersebut," ujar guru besar UINSA Surabaya tersebut.

 

Disampaikan pula, kepemimpinan dalam perspektif NU adalah ulama. Yakni sebagai mata rantai pembawa paham Ahlussunnah wal Jamaah selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan pembimbing utama jalannya organisasi NU.

 

“Seorang pemimpin harus mengkontekstualisasikan nilai mabadi khaira ummah ke dalam tempo kekinian dan lokalitas kedisinian dalam menyikapi tantangan dan persoalan yang muncul. Selain itu juga perlu memiliki sifat-sifat ala Nabi, yaitu shidiq, amanah, tabligh dan fathanah,” jelasnya.

 

Dikatakan, ketika pemimpin menyampaikan sesuatu dengan jujur, maka akan mendapatkan kepercayaan secara penuh dari warga atau jamaah. Karena pengikut akan beranggapan bahwa yang bersangkutan cerdas dan mampu dalam mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin.

 

Kiai Abd A’la mengemukakan bahwa seorang pemimpin, di mana pun posisinya, juga harus kuat, visioner, menjadi teladan bagi orang lain.

 

“Selain itu juga harus memiliki tingkat kesabaran tinggi, rela berkorban dan senang bermusyawarah dalam menyikapi setiap persoalan,” tandasnya.

 

Kontributor: A Habiburrahman

Editor: Ibnu Nawawi