Tradisi Slup-slupan, Selamatan Berbalut Nasionalisme
NU Online · Rabu, 14 Mei 2014 | 11:01 WIB
Solo, NU Online
Bagi sebagian orang, momentum berpindah atau menempati rumah baru masih dianggap sebagai saat-saat yang sakral. Sebab, rumah menjadi salah satu dari sekian kebutuhan pokok manusia. Di dalam rumah pula, sebuah kebahagiaan mahligai keluarga dapat dibangun.
<>
Oleh karena itu, sebagai penanda awal sekaligus pengharapan agar diberikan keselamatan dalam menghuni rumah, biasanya sang pemilik menggelar sebuah acara selamatan. Pada kalangan masyarakat Jawa, hal tersebut dikenal dengan istilah slup-slupan.
Dalam beberapa literatur disebutkan, acara slup-slupan dilakukan dengan beberapa prosesi. Bagi yang masih memegang kuat tradisi, prosesi diawali dengan orang memegang sapu lidi untuk menyapu, dan satu orang lagi memegang lampu minyak dan tempat air.
Dua orang ini akan berdoa terlebih dahulu di depan rumah dan setelah berdoa, mulailah mereka mengitari rumah dengan menyapu dan menyirami sekeliling rumah dengan air dari dalam tempatnya tersebut.
Prosesi tersebut sesungguhnya sarat akan makna. Semisal air disiram ke sekeliling rumah, agar rumah menjadi ayem (nyaman) dan tentram. Sapu lidi dan kegiatan menyapu agar semua kotoran bersih, baik dari yang fisik maupun non-fisik. Sedangkan lampu berarti agar selalu mendapat sinar terang dalam menjalani hidup.
Ritual Pasang Bendera
Selain prosesi di atas, bagi warga yang hidup dalam lingkungan santri biasanya ditambah dengan acara pengajian pembacaan al-Qur’an dengan surah tertentu, shalawatan dan sebagainya.
Namun dari kesemua hal tadi, satu hal yang penting untuk tidak dilewatkan, yakni pemasangan bendera merah putih di posisi tengah-atas rumah. Pemasangan bendera disertai dengan segala ubo-rampe seperti padi, kelapa, tebu dan lainnya.
Mengenai hal ini, beberapa waktu lalu (2/5) pernah diterangkan oleh Habib Luthfi bin Ali Yahya dalam sebuah acara pengajian. Menurut Rais ‘Aam Jatman itu pemasangan bendera merah putih dalam acara slup-slupan terkait dengan sejarah di zaman penajajahan. Ketika itu, bendera penjajah berkibar di jalan-jalan, sedangkan bendera merah putih dilarang untuk dikibarkan.
“Maka, ketika itu para orang tua kita setiap membangun rumah, di tengah-tengah rumah dikasih bendera merah putih, beserta tebu, padi dan kelapa. Sebab, kalau dikasih bendera merah putih saja akan dicurigai, tapi dikasih tebu kelapa pari dikasi ingkung diamin-amini (didoakan), tidak akan dicurigai penjajah,” terangnya.
Alhasil bendera merah putih pun tetap terpasang, tanpa dicurigai pihak penjajah. “Penanaman nasionalisme melalui bendera ini sudah sudah dilakukan oleh orang tua kita. Di dalam bendera, meskipun tidak ada tulisannya, namun di situ ada harga diri, kehormatan bangsa, jati diri bangsa yang melahirkan karakter yang luar biasa,” ungkap Habib Luthfi.
Maka, lengkaplah sudah arti dari tradisi slup-slupan ini. Selain sebagai pengharapan agar rumah dan keluarga kita diberikan selamat dan dijauhkan dari segala hal yang dapat mengganggu kita, juga sebagai wujud penanaman nasionalisme yang mesti senantiasa kita jaga. (Ajie Najmuddin/Mahbib)
Foto: Sebuah bendera dipasang diujung tengah atap rumah bersama kelapa, pisang, dan tebu
Terpopuler
1
Taj Yasin Pimpin Upacara di Pati Gantikan Bupati Sudewo yang Sakit, Singgung Hak Angket DPRD
2
Targetkan 45 Ribu Sekolah, Kemendikdasmen Gandeng Mitra Pendidikan Implementasi Pembelajaran Mendalam dan AI
3
Peringatan HUT Ke-80 Kemerdekaan RI, Ketum PBNU Ajak Bangsa Teguhkan Persatuan
4
Kiai Miftach Jelaskan Anjuran Berserah Diri saat Alami Kesulitan
5
Tali Asih untuk Veteran, Cara LAZISNU Sidoarjo Peduli Pejuang Bangsa
6
Gerakan Wakaf untuk Pendidikan Islam, Langkah Strategis Wujudkan Kemandirian Perguruan Tinggi
Terkini
Lihat Semua