Nasional

Tingginya Trend Kekerasan Seksual di Kampus, Ketua Komisi X DPR RI: Saya Dukung Permendikbud No 30 Tahun 2021

Sel, 16 November 2021 | 00:00 WIB

Tingginya Trend Kekerasan Seksual di Kampus, Ketua Komisi X DPR RI: Saya Dukung Permendikbud No 30 Tahun 2021

Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Syaiful Huda. (Foto: Istimewa)

Jakarta, NU Online
Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Syaiful Huda mendukung terbitnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
 

“Saya mendukung sepenuhnya Peraturan Menteri 30/2021 ini untuk mengatur tingkat kekerasan seksual yang pada fakta di lapangannya, trend kekerasan yang menimpa mahasiswa-mahasiswi ini semakin naik dari tahun ke tahun,” katanya kepada NU Online, Senin (15/11/2021).

 
Menurutnya, kebijakan yang dibuat oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim harus dilihat dari prespektif korban kekerasan seksual yang membutuhkan perlindungan hukum.

 
“Tingginya angka kekerasan seksual ini, harus disikapi secara tegas. Lahirnya Permendikbud Nomor 30  Tahun 2021 harus diletakkan dari prespektif tersebut,” tegas Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.

 
Ia menilai, lahirnya aturan tentang pencegahan dan penanganan kekerasansSeksual di kampus jelas termasuk dari bagian upaya untuk mencegah lebih banyaknya korban kekerasan seksual.


Berdasarkan survei Komnas Perempuan sepanjang 2015-2020 menunjukkan, ada sebanyak 27 persen kasus terjadi di perguruan tinggi dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan.


Survei serupa dilakukan juga oleh Kemendikbud pada 2020 yang menyebutkan, 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan.


“Data kekerasan kampus yang berhasil direkam terdapat 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus dan 29 kota. Kasus sebenarnya bisa jadi jauh lebih tinggi karena banyak kasus yang tidak dilaporkan karena korban merasa malu atau karena faktor lain,” jelas tokoh kelahiran Bandung, 22 April 1977 itu.

 
Kendati demikian, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, baginya tetap membutuhkan revisi terbatas. Ia mengusulkan perlu dilakukannya pemeriksaan kembali mengenai konteks definisi tindak kekerasan seksual. Hal itu dilakukan untuk mengurangi terjadinya multitafsir terhadap peraturan tersebut.

 
“Harus ada perbaikan sedikit dari klaster definisi terkait tindak kekerasan seksual. Ini penting supaya menjadi bagian dari melindungi si korban,” ujarnya.

 
"Tidak ada salahnya Mas Nadiem merevisi terbatas Permendikbud ini secara cepat untuk lebih menegaskan norma konsensual agar mempunyai kekuatan yang lebih mengikat," sambung Syaiful.

 
Klaster yang dimaksud Syaiful ada pada Pasal 5 dari Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Dalam pasal itu, kekerasan seksual didefinisikan mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Pasal itu juga menjabarkan berbagai jenis tindakan kekerasan seksual yang dilakukan ‘tanpa persetujuan korban’. Frasa ini lah yang menurutnya perlu direvisi.

 
Hal lainnya yang perlu dilakukan pemeriksaan kembali ialah perlunya menautkan Permendibud ini dengan Norma Hukum dan Norma Agama yang ada. “Jadi kalau menyebut definisi terkait kekerasan seksual tidak berhenti disitu lalu dikembalikan kepada masing-masingnya. Tapi harus ditautkan ke norma hukum yang ada bahkan kalau perlu ke norma agama, agar semakin produktif nantinya,” imbuh dia.
 

Sebagai informasi, Permendikbud Nomor 30 Tahun 021 diteken Mendikbud Riset Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021dan diundangkan pada 3 September 2021. Ketentuan itu kemudian menuai kritik dari berbagai pihak. Namun, ada juga dukungan dari sejumlah pihak terkait hal ini.
 

Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin