Nasional RISET DIKTIS

Tantangan Kiai Desa di Tegal Menjaga Pancasila: Otoritarianisme dan Populisme

Rab, 9 Oktober 2019 | 04:30 WIB

Tantangan Kiai Desa di Tegal Menjaga Pancasila: Otoritarianisme dan Populisme

Para kiai di Tegal pada sebuah pengajian (Foto: NU Online/Tahmid Zamzami)

Menjaga ideologi Pancasila agar tetap menjadi idologi pemersatu bangsa Indonesia, bukanlah suatu hal yang mudah. Tetapi, juga bukan merupakan sesuatu yang sulit juga. Karena, nilai dalam Pancasila merupakan cermin dari laku dan perilaku bangsa Indonesia  maka menjaga sesuatu yang sejatinya telah mengakar menjadi budaya, bukanlah hal yang sulit.
 
Di tengah-tengah derasnya laju arus ideologi asing, seperti khilafatisme, radikalisme, sekularisme, menjaga ideologi Pancasila agar tetap eksis di Indonesia, sudah pasti memiliki tantangan sendiri.
 
Selama ini, yang menjaga ideologi Pancasila secara kultural di tengah masyarakat, salah satunya adalah para kiai. Terkhusus para kiai NU yang memiliki semangat untuk menjaga NKRI dan Pancasila. Bahkan, para kiai NU, di pelosok desa sekalipun, memegang kuat slogan 'NKRI Harga Mati' sebagai konter bagi para pihak yang menginginkan khilafatisme di Indonesia. Dan, slogon 'Hubbul wathon minal iman' atau 'Cinta tanah air sebagian dari iman' juga berfungsi mengonter mereka yang menganggap membela Pancasila tidak ada dalilnya dalam Islam.
 
Zaki Mubarok dan Mohammad Koidin dalam penelitian yang dilakukan berkat dukungan bantuan Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama RI tahun anggaran 2018, ber​​​​​​judul Kiai Desa Menjaga Pancasila: Moderasi Melalui Pertahanan Kultural Pada Masyarakat Tradisonal menyatakan bahwa membela Pancasila ada dalilnya dalam Islam.
 
Kiai Aziz, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda Grobog Wetan sekaligus salah satu pengasuh Jamiyyah Muttabil Ulama sebagai salah satu sumber dalam penelitian yang dilakukan di Tegal, Jawa Tengah itu menyatakan Pancasila sudah final. Apa yang tertulis dalam Pancasila merupakan nilai-nilai Islam.
 
Kiai Aziz kemudian memerinci, bahwa sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan ayat qul huwa Allahu ahad. Sila Kedua, Kemanusiaan yang adil beradab sesuai dengan ayat inna Allah ya’muru bil’adl, Sila Ketiga, Persatuan Indonesa, sesuai dengan perintah wa’tashimu bi hablillahi jamian wala tafarroqu. Kemudian pada sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, sesuai dengan perintah Allah, Wasyawirhum fil amr.
 
"Sedangkan sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan perintah i’dilu huwa aqrobu littaqwa," tulis Zaki Mubarok dan Mohammad Koidin dalam penelitian yang didukung oleh Diktis Kemenag.
 
Kesesuaian ini, sebut para peneliti, tidak berarti 'otak atik gathuk. Namun, pada kenyataannya spirit yang terkandung di dalam ayat-ayat tersebut tampak jelas dalam masing-masing sila.

Hasil penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa walaupun tampak jelas bahwa membela Pancasila ada dalilnya dalam Islam, akan tetapi ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh kiai desa dalam mempertahankan ideologi Pancasila. Di antara tantangan dalam menjaga ideologi Pancasila adalah otoritarianisme dan populisme.
 
Otoritarianisme ini dilakukan oleh santri baru yang berusaha mendelegitasi keilmuan kiai. Santri baru adalah santri yang belajar agama secara instan dan berbekal dalil yang seadanya kemudian menyalahkan kiai-kiai desa. Sebagaimana contoh yang disebutkan dalam penelitian tersebut bahwa Kiai Mahrus, salah seorang kiai di Suradadi, bagian timur Kabupaten Tegal, ditentang dan disalah-salahkan oleh santri yang dulu pernah diajarinya mengaji walau hanya menggunakan segelintir dalil.
 
Menurut Kiai Mahrus, anak-anak zaman sekarang, khususnya di daerah Tegal dalam kondisi yang mengkhawatirkan karena mereka telah kehilangan adab. Hal ini disebabkan peran media sosial yang menyajikan informasi agama secara instan, sehingga berani menyalahkan kiai yang dulu mengajarinya mengaji walau bermodal satu dalil. Dengan menjamurnya gejala otoritarianisme di kalangan milenial menyebabkan tantangan sendiri dalam memelihara Pancasila dan moderasi dalam beragama. 
 
Tantangan menjaga Pancasila yang dialami kiai desa berikutnya adalah populisme. Populisme adalah sebuah strategi mobilisasi masyarakat yang diterapkan oleh tokoh politik tertentu. Ciri populisme yakni strategi mobilisasi dengan menciptakan musuh dan penganggapan diri sebagai tokoh. Penciptaan musuh itu dilakukan guna membuat ancaman sosial bagi semua. Populisme menghancurkan kultur, nilai, dan institusi masyarakat yang memiliki jiwa hidup bersama.
 
Populisme ini menjadikan masyarakat memandang sesuatu dengan oposisi biner. Yaitu, menjadikan dua hal yang saling bertentangan. Kalau tidak benar ya tentu salah, kalau tidak putih yang pasti hitam, populisme tidak pernah mengenal istilah abu-abu.
 
Dengan demikian para tokoh yang menggunakan strategi populisme akan saling mengadu domba masyarakat. Menganggap semua kiai yang menjaga NKRI adalah musuh, sedangkan yang memperjuangkan negara syariah adalah tokoh utama. Tentu hal seperti akan menjadi tantangan sendiri bagi kiai di desa dalam menjaga ideologi Pancasila.

Penulis: Ahmad Khalwani
Editor: Kendi Setiawan