Nasional MUKTAMAR KE-34 NU

Tak Memihak Rakyat Kecil, Muktamar NU Bakal Bahas Reforma Agraria

Sel, 23 November 2021 | 18:45 WIB

Tak Memihak Rakyat Kecil, Muktamar NU Bakal Bahas Reforma Agraria

Ketua Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muktamar ke-34 NU, KH Mujib Qulyubi. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) yang akan digelar pada 23-25 Desember 2021 mendatang akan membahas berbagai masalah. Salah satunya soal aturan pertanahan yang hingga kini dinilai belum atau bahkan tidak memihak rakyat kecil. 


Aturan mengenai pertanahan termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, serta UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. 


“Yang kita sorot adalah soal pemanfaatan lahan dan praktiknya selama ini bahwa undang-undang kita tidak (atau) belum berpihak kepada rakyat kecil,” ujar Ketua Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muktamar ke-34 NU KH Mujib Qulyubi kepada NU Online usai melangsungkan rapat komisi di lantai 5 Gedung PBNU Jakarta, pada Selasa (23/11/2021). 


Menurutnya, para transmigran di daerah-daerah yang telah bertahun-tahun menggunakan dan membabat lahan, ternyata banyak yang belum mendapatkan legalitas izin berupa sertifikat tanah.


“Tetapi begitu ada konsorsium atau perusahaan besar yang akan memakai tanah itu, maka diberikan izin memanfaatkan lahan walaupun dalam waktu tertentu. Tetapi itu kan ke luar. Sementara yang capek-capek dan payah-payah membuat lahan dari awal, sampai sekarang terkatung-katung dan tidak jelas keberadaan tanah itu,” terang Kiai Mujib.


Karena itu, ia menilai tepat jika NU sebagai organisasi membahas mengenai persoalan tanah ini dalam gelaran muktamar mendatang. Kiai Mujib menegaskan, NU memiliki tugas untuk terus berpihak dan mengedukasi rakyat kecil yang dirugikan oleh peraturan tersebut. 


“(NU) harus ada pembelaan kepada mereka-mereka yang ‘terugikan’ dalam tanda kutip oleh peraturan Reforma Agraria ini,” terang Kiai Mujib.


Ia menjelaskan bahwa persoalan tanah ini sangat penting untuk disorot dan dibahas agar peraturan negara benar-benar mampu berpihak kepada rakyat kecil. Selain Komisi Qanuniyah, persoalan pertanahan ini juga akan dibahas di komisi bahtsul masail yang lain.


“Insyaallah soal tanah ini bukan hanya qanuniyah tetapi juga waqi’iyah dan maudhuiyah akan mengeroyok akan memunculkan soal-soal tanah ini dengan problematikanya dari berbagai perspektif masing-masing,” pungkasnya. 


Laporan Konflik Agraria 2020

Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat, sepanjang 2020 telah terjadi 241 letusan konflik agraria akibat berbagai praktik perampasan tanah dan penggusuran. Konflik itu tersebar di 359 kampung atau desa, melibatkan 135.337 kepala keluarga di atas tanah seluas 624.272,711 hektar.


Letusan-letusan konflik itu terjadi di semua sektor. Sektor perkebunan menjadi penyebab letusan konflik agraria tertinggi sebanyak 122 letusan konflik, disusul sektor kehutanan (41), pembangunan infrastruktur (30), bisnis properti (20), pertambangan (12), fasilitas militer (11), pesisir dan pulau-pulau kecil (3), serta agribisnis (2).


Konflik agraria di sektor perkebunan tercatat naik 28 persen. Dari 87 letusan konflik pada 2019 menjadi 122 kasus pada 2020. Sementara sektor kehutanan naik hingga 100 persen.Dari 20 konflik pada 2019 menjadi 41 kasus pada 2020.

 

Secara angka total, konflik agraria dapat disebut menurun. Namun, penurunan tersebut tidak siginfikan hanya 14 persen atau tidak sebanding dengan minusnya pertumbuhan ekonomi yang penurunannya mencapai 200 persen.


Dari keseluruhan konflik sebanyak 241 kasus, 69 persen di antaranya terjadi di dua sektor klasik, yakni perkebunan dan kehutanan. Di sektor perkebunan, berdasarkan pemilikan badan usaha, konflik akibat perkebunan BUMN sebanyak 12 kasus dan perkebunan swasta 106 kasus.

 

Sementara jika berdasarkan komoditasnya, perkebunan sawit sebanyak 101 konflik. Selanjutnya diikuti perusahaan perkebunan komoditas tebu, karet, teh, kopi, dan lainnya.


Di sektor kehutanan, letusan konflik agraria sepanjang 2020, terjadi akibat aktivitas perusahaan-perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebanyak 34 konflik, hutan lindung 6 konflik, dan perusahaan HPH 1 konflik.


Sementara itu, akibat proyek pembangunan infrastruktur pada 2020 telah melahirkan 30 letusan konflik agraria. Pembangunan ini didominasi oleh beragam proyek strategis nasional (PSN) dan kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) yakni sebanyak 17 letusan konflik. 


Konflik-konflik itu terjadi mulai dari pembangunan jalan tol, bandara, kilang minyak, pelabuhan, hingga pembangunan infrasturktur pendukung pariwisata premium seperti Danau Toba, Labuan Bajo, dan Mandalika. Sisanya akibat pembangunan stasiun, bendungan dan gelanggang olah raga (GOR).


Selanjutnya, konflik agraria yang berkaitan dengan fasilitas milter akibat klaim aset TNI sebanyak 9 kasus, pusat latihan tempur (1) dan landasan udara (1). Di sektor pesisir kelautan yaitu tambak (1), reklamasi (1) dan pulau kecil (1).


Di sektor bisnis properti, letusan konflik agraria terjadi akibat klaim aset pemerintah (8), pembangunan kawasan perumahan (6), real estate (2), kawasan industri (2), resort (1), dan perkantoran (1).


Selanjutnya, konflik agraria di sektor pertambangan didominasi pertambangan semen (4), emas (3), batubara (2), pasir, geotermal dan nikel masing-masing satu kali. Terakhir, di sektor agribisnis diakibatkan oleh pembangunan food estate dan peternakan masing-masing satu kasus.


Sebanyak 30 provinsi terdampak konflik agraria. Pulau Sumatera mendominasi konflik agraria yang terjadi. Lima besar provinsi dengan letusan konflik agraria terbanyak terjadi di Riau sebanyak 29 letusan konflik, Jambi (21), Sumatra Utara (18), Sumatra Selatan (17) dan Nusa Tenggara Timur 16 letusan konflik.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad