Nasional

Siswa SMP di Jatim Hamil, Fatayat NU: Ini Persoalan Bersama

Jum, 25 Mei 2018 | 05:30 WIB

Jakarta, NU Online
Fatayat NU mengungkapkan terjadinya kehamilan pada seorang siswa SMP oleh siwa SD di Tulunganggung, Jawa Timur, sebagai persoalan kompleks. Tidak tepat jika masyarakat hanya menyalahkan pada kedua pelaku.

“Ini persoalan kita, dan ini tamparan bagi kita pendidik (sekolah), orang tua, dan lingkungan,” kata Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Ermarini kepada NU Online, Jumat (25/5) siang.

Menurut Anggia, lingkungan berpengaruh pada peristiwa tersebut yang seakan-akan melakukan pembiaran. Seharusnya lingkungan tegas memberi peringatan para pihak agar tidak sampai terjadi peristiwa tersebut.

Berdasarkan pemberitaan yang beredar, masyarakat setempat sebenarnya telah mengingatkan orangtua anak laki-laki. Sayangnya, mendengar peringatan masyarakat, ayah dari anak laki-laki menanggapi dengan membiarkan saja, bahkan si ayah mengatakan apa yang dilakukan anaknya untuk menguji alat kelamin setelah dikhitan.

Menanggapi hal tersebut,  Anggia menegaskan bahwa ada pola yang salah pada pemikiran orangtua anak laki-laki tersebut. “Ini yang menjadi keprihatinan Fatayat. Orangtua harusnya memiliki kesadaran bahwa membangun rumah tangga tidak sekadar mengesahkan hubungan seksual suami istri," paparnya.

Perempuan kelahiran Sragen, Jawa Tengah ini menambahkan, benar bahwa ada hubungan seksual di dalam pernikahan. Tetapi pernikahan tidak hanya soal hubungan seksual. "Pernikahan bukan sekadar mengesahkan hubungan seksual. Sebab, juga ada pendidikan di sana. Bagaimana mendidik anak-anak yang dilahirkan,” katanya.

Pendidikan yang dimaksud Anggia, misalnya bagaimana menjadi warga negara yang baik harus mencintai NKRI; menjaga ajaran aswaja dalam konteks NU; atau bagaimana bergaul dengan lingkungan dalam konteks bermasyarakat.

Pada kasus hamilnya siswa SMP oleh siswa SD tersebut, orangtua menyelesaikan dengan menikahkan keduanya. Menurut Anggia, hal itu memang menyelesaikan persoalan saat ini. Namun, persoalan tidak berhenti sampai di sana.

“(Menikahkan mereka) itu hanyalah solusi sementara. Artiya persoalan tidak berhenti sampai di situ. Bagaimana anak-anak ini mempunyai anak, mendidik anak, memberikan nafkah. Tidak sekadar menikah,” tegasnya.

Hal terpenting pada pernikahan, lanjut Anggia, adalah membuat bangunan yang bernama rumah tangga. Dan itu harus diupayakan untuk membangun generasi yang baik. (Kendi Setiawan)