Nasional RISET BALITBANG KEMENAG

Sikap Toleransi Siswa MA di Kendal Tahun 2018

Sen, 2 September 2019 | 13:50 WIB

Sikap Toleransi Siswa MA di Kendal Tahun 2018

Ilustrasi: Gedung MAN Kendal (Foto: mankendal.sch.id)

Peranan sektor pendidikan, terutama Pendidikan Agama di lembaga formal, menjadi sangat strategis dalam memberikan pembinaan karakter kehidupan beragama.
 
Nugroho Eko Atmanto, peneliti dari Balai Litbang Agama (BLA) Semarang, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, berpendapat, di samping mengajarkan religiusitas yang tercermin dalam peningkatan ketakwaan dalam beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pendidikan Agama juga tercermin dalam hubungan relasi sosial baik antara orang yang seagama dan lebih-lebih kepada yang berbeda agama.
 
Eko menyampaikan, UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi salah satu dasar dalam pelaksanaan Pendidikan Nasional, Pendidikan Keagamaan berfungsi untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
 
Dengan demikian pendidikan agama memiliki makna tujuan salah satunya adalah agar siswa memahami ajaran agamanya dan menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, demikian Eko dalam penelitian berjudul Sikap Toleransi Siswa Madrasah; Studi di Kabupaten Kendal.
 
Eko menyebutkan, Pendidikan Agama tidak sekedar memberikan pengetahuan keagamaan yang digunakan sebagai sarana untuk menjalankan perintah agama (menyembah, beribadah), akan tetapi juga menanamkan sikap dan nilai yang kemudian dapat diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat yang serba beragam. Dalam hal kehidupan beragama, lingkungan sekolah memberikan pengalaman dalam berinteraksi kepada siswa yang berbeda agama.
 
Sekolah yang siswa-siswinya terdiri dari berbagai macam agama yang berbeda akan memberikan pengalaman siswa dalam berinteraksi, bagaimana bersikap dan berperilaku. Pada tingkat pendidikan menengah (SMA/SMK/MA), pengalaman beinteraksi kepada siswa yang berlainan agama ini menjadi penting.
 
Pertama, ungkap Eko, karena pada jenjang ini seorang siswa sudah memiliki kemampuan menalar dan berpikir kritis akan kehidupan nyata. Kedua, bahwa jenjang ini akan mengantarkan seorang anak sebelum terjun ke masyarakat  (bekerja, berkeluarga) dan atau melanjutkan ke perguruan tinggi yang mana juga butuh bekal mental dalam menghadapi pluralitas di perguruan tinggi.
 
Madrasah Aliyah adalah lembaga pendidikan formal pada jenjang pendidikan menengah yang berada di bawah pembinaan Kementerian Agama. Kekhasan Madrasah Aliyah adalah adanya tambahan pelajaran rumpun keagamaan, selain mata pelajaran umum sebagaiman di SMA. Dengan ciri khas keagamaan tersebut, secara otomatis siswanya secara keseluruhan adalah beragama Islam. Demikian pula guru dan tenaga kependidikan, meski tidak disyaratkan beragama Islam, pada praktiknya hanya guru dan tenaga kependidikan yang beragama Islam yang ada di MA.
 
Melihat kekhasan Madrasah Aliyah yang semua siswanya beragama Islam tersebut menjadikan berkurangnya pengalaman siswa berinteraksi dengan orang (siswa lain) yang berbeda agama. Dalam penelitiannya, Eko berusaha mengkaji mengenai sikap toleransi dari siswa yang terbiasa berinteraksi dalam lingkungan sekolah yang homogen dan dengan pendalaman agama (Islam) yang lebih banyak dibanding dengan lembaga pendidikan lain yang heterogen (seperti SMA).
 
Adapun tujuan penelitian yang dilakukan tahun 2018 itu adalah untuk mengetahui sikap toleransi beragama siswa Madrasah Aliyah di Kabupaten Kendal; mengetahui penerimaan siswa madrasah terhadap orang yang berlainan agama. 
 
Penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif, yaitu dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Kuesioner disusun dengan menggunakan parameter mengenai pengertian toleransi berdasarkan definisi yang diberikan oleh UNESCO, yang meliputi tiga sikap dalam kehidupan antarpemeluk agama, yaitu saling menghormati, saling menerima, saling menghargai (UNESCO, 1995: 9).
 
Ketiga sikap tersebut dijabarkan dalam butir-butir pertanyaan yang akan memberikan gambaran mengenai sikap toleransi dari siswa Madrasah Aliyah. 
 
Sementara itu, objek penelitian adalah Madrasah Aliyah di Kabupaten Kendal yang secara keseluruhan berjumlah 15 lembaga yang mana terdiri dari satu satuan pendidikan berstatus negeri dan yang lain sisanya adalah swasta. Sementara itu menurut data dari Kementerian Agama Kabupaten Kendal terdapat 4.086 siswa Madrasah Aliyah pada tahun ajaran 2018/2019. Sampel yang ditentukan dengan menggunakan rumus slovin dan standar error 0,05 dalam penelitian ini diperoleh angka 352 siswa. 
 
Temuan Penelitian
 
Melalui analisis dari kuesioner-kuesioner, diperoleh keterangan mengenai sikap toleransi siswa madrasah yang ada di Kabupaten Kendal. Sikap toleransi ini secara garis besar dibedakan menjadi tiga, yaitu sikap menerima, sikap menghormati, menghargai.  
 
Sikap toleransi siswa Madrasah Aliyah di Kabupaten Kendal rata-rata berada pada kategori baik. Secara umum dapat pula dikatakan bahwa sebagian besar berada pada kategori baik (78,41 persen), sedangkan yang lainnya adalah sangat baik (6,53 persen), dan kurang (15,06 persen). Secara rinci berdasarkan ketiga indikator maka yang memberikan sumbangan sikap toleransi pada kategori kurang yang paling besar adalah pada indikator 'menerima' (25,28 persen).
 
Pada indikator 'menerima', siswa Madrasah Aliyah terdapat 27 persen sangat baik; 66,76 persen baik; 25,28 persen kurang; dan 0,28 persen sangat kurang. Hal itu berarti meski sebagian besar siswa dalam hal 'menerima' memiliki sikap yang baik dan sangat baik, akan tetapi terdapat juga siswa yang kurang baik dalam indikator 'menerima' dengan jumlah yang cukup signifikan, yaitu 25,28 persen.
 
Rekomendasi
 
Atas penemuan tersebut, peneliti merekomendasikan perlunya peningkatan pemahaman agama dengan arah moderasi agama, untuk menghindarkan siswa madrasah dari sikap ekstrem dalam beragama. Kedua, perlunya pengenalan mengenai ajaran agama lain (selain Islam) agar senantiasa terbangun pemahaman akan mengenai urgensi toleransi dalam berinteraksi dengan umat beragamalain. Hal ini bisa disampaikan oleh guru madrasah sendiri ataupun mengundang narasumber dari tokoh agama lain.
 
Kemudian, perlu adanya peningkatan pemahaman moderasi agama bagi guru-guru semua mata pelajaran Madrasah Aliyah, melalui berbagai forum seperti pelatihan, seminar, workshop, dan lainnya.
 
Editor: Kendi Setiawan