Nasional

Semarak Hari Santri dan UU Pesantren, bentuk Pengakuan pada Pesantren

Ahad, 20 Oktober 2019 | 08:00 WIB

Semarak Hari Santri dan UU Pesantren, bentuk Pengakuan pada Pesantren

Santri Annawawi Berjan

Jakarta, NU Online

 

Perayaan Hari Santri 2019 yang diselenggarakan di berbagai tempat dalam bentuk yang berbeda di setiap lokasi menambah semarak perayaan hari santri tahun ini. Makin semaraknya perayaan Hari Santri merupakan bukti atas meningkatnya penerimaan masyarakat dan pengakuan negara pada pesantren.

 

Salah satu bentuk perayaan hari santri 2019 yang digelar secara meriah adalah Kemah Santri di Banyuwagi. Di sana, sebanyak 999 santri dari berbagai pesantren akan diajak bermalam di lokasi terbuka, tepatnya di Bumi Perkemahan Wisata Pinus, Sumberbulu, Songgon, Banyuwangi, Ahad-Senin (20-21/10).
 

Tujuan kegiatan ini, kata ketua PCNU Banyuwangi, H Mohammad Ali Makki, adalah untuk menumbuh-kembangkan sikap percaya diri dan bangga sebagai santri. Sekaligus dapat meningkatkan tali silaturrahmi dan ukhuwah, semangat patriotisme, dan wawasan kebangsaan, sesuai dengan nilai-nilai Islam ahlussunnah wal jamaah.


Dalam konteks kepengurusan NU, kegiatan ini juga bertujuan untuk merekatkan jalinan ukhuwah dan sinergitas antara pengurus MWCNU di setiap kecamatan dengan pengasuh dan santri pondok pesantren di setiap wilayah kecamatan.

 

Kegiatan ini juga akan dimanfaatkan untuk memberikan pembekalan penguatan ASWAJA, ke-NU-an dan kebangsaan terhadap kaum santri yang sebagian besar adalah kaum millenial. Kelak, diharapkan para santri akan kebal atas serbuan paham-paham di luar ajaran Ahlussunah Wal Jamaah An-Nahdliyah.

 

Lain Banyuwangi, lain pula di Lombok Timur. Kegiatan perayaan Hari Santri yang dilakukan di Kabupaten Lombok Timur berbeda dengan Banyuwangi. Di Lombok Timur, Panitia Hari Santri (HSN) 2019 Kabupaten Lombok Timur bekerja sama dengan Pengurus Cabang Nahdalatul Ulama Lombok Timur mengggelar seminar dengan tema "Menguatkan Ahlussunnah wal Jamaah dan Pancasila untuk menjaga keutuhan NKRI", yang berlangsung di Aula Kantor Kemenag setempat, Jumat (19/10).

 

Ketua Tanfidziah NU Lombok Timur mengatakan, kegiatan ini penting dalam rangka menumbuhkan kesadaran pentingnya menjaga NKRI. Menurutnya, kunci menjaga bangsa agar tetap aman adalah ‘PBNU’. ‘PBNU’ yang dia maksud adalah akronim dari Pancasila, Bineka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945. Jika keempat hal tersebut diamalkan, ia yakin Indonesia akan tetap aman.

 

Ia juga berpesan agara para santri makin berani untuk ambil peran penting dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Namun ia juga mengingatkan, agar di dalam era teknologi digital yang semakin canggih ini, santri tidak termakan berita hoaks dan paham radikalisme di dalam media sosial.

 

Pengakuan luas pada pesantren dan santri

 

Dalam kesempatan tersebut, perwakilan pemerintah Lombok Timur, Salmun Rahman menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya keluarga besar NU dalam menjaga kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia. Pada prisipnya, lanjutnya, organisasi Nahdlatul Ulama sejak dahulu sampai sekarang menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan dan mempertahankan NKRI.

 

Ia juga menyampaikan bahwa pemerintah semakin mengakui posisi dan kedudukan strategis pondok pesantren dan santri dalam masyarakat. Pengakuan ini memungkinkan agar keluarga besar NU bisa terus bekerja sama dengan Polri, TNI dan pemerintah dalam menjaga keutuhan NKRI.

 

Pernyataan tersebut sejalan dengan disahkannya UU Pesantren beberapa waktu lalu. Pengesahan UU ini merupakan angin segar bagi kalangan pesantren, sebab ia merupakan bentuk pengakuan atas keberadaan pesantren dan perannya terhadap pekentingan bangsa.

 

Dalam berbagai persoalan besar seperti hubungan kebangsaan dan keagamaan, pesantren menunjukkan diri sebagai lembaga yang dapat memberi manfaat tidak hanya bagi kalangan pesantren, namun juga bagi kelompok luas.

 

Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah  Jakarta, Prof Oman Fathurrahman, mengatakan bahwa pesantren kerap kali menemukan jalan keluar bagi masalah kebangsaan yang berangkat dari kajian keagamaan yang mendalam, seperti saat menjembatani ideologi agama dan bangsa.

 

“Di pesantren sendiri, sering dibahasakan bahwa ideologi negara Indonesia itu sebagai Darul Ahdi yang mempunyai maksud perjanjian atau tempat negara kita bersepakat untuk menerima ideologi negara itu, siapapun yang menghianati atau menolak ideologi itu, maka sama dengan menolak kesepakatan bersama kita,” ujarnya di Jakarta.

 

Ia mengatakan bahwa dengan disahkannya UU Pesantren ini setidaknya telah menjadi bentuk pengakuan dari negara terhadap Pesantren. Dengan adanya UU ini diharapkan nilai-nilai yang ada di pesantren yang terkait dengan integrasi keagamaan dan kenegaraan semakin bisa ditonjolkan ke depannya.

 

Pesantren berasal dari masyarakat 

 

Oman menjelaskan, selama ini pesantren telah dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang sudah sangat mengakar. Dalam konteks kebangsaan pun para tokoh-tokoh pesantren juga sudah teruji dan berkontribusi.

 

Dalam konteks Indonesia,  pesantren ini juga punya sejarah tersendiri. “Pesantren itu tumbuh dari masyarakat, karena hampir seratus persen pesantren yang ada di Indonesia ini tidak ada yang dibangun oleh negara. Tentunya banyak sekali pesantren itu dari segi support itu masih kurang, baik infrastruktur atau yang lainnya, termasuk support  baik kurikulumnya maupun sumber daya manusianya.

 

Oleh karenanya pengakuan dari negara terhadap pesantren adalah bentuk afirmasi. Dengan disahkannya UU Pesantren tersebut, ia berharap bahwa nilai-nilai yang ada di pesantren yang terkait dengan integrasi keagamaan dan kenegaraan semakin bisa ditonjolkan. Sebab, lanjutnya, alumni pesantren dan para kyainya selama ini tidak ada yang menentang Pancasila sebagai ideologi negara.

 

“Tokoh-tokoh pesantren yang bersifat moderat tidak ada yang mempermasalahkan ideologi negara. Karena tokoh-tokoh pesantren itu sendiri sejak awal itu memang justru terlibat dalam perumusan ideologi negara tersebut yang kita sebut Darul Ahdi tadi,” kata Oman.

 

Kontributor: Anang Lukman Afandi dan Syamsul Hadi

Editor: Ahmad Rozali