Nasional

Selain Negara, Media Wajib Berperan dalam Melindungi Anak 

Sel, 7 September 2021 | 08:00 WIB

Selain Negara, Media Wajib Berperan dalam Melindungi Anak 

Pendiri Rumah Cikal Najeela Shihab. (Foto: Instagram @najeelashihab)

Jakarta, NU Online

Salah satu komitmen besar negara adalah memberikan perlindungan kepada anak. Hal itu, tertuang secara tegas dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, yang merupakan kewajiban semua pihak, baik negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat termasuk media, orangtua dan keluarga. 


Mencermati perkembangan pemberitaan yang berkembang soal pembebasan pelaku kejahatan seksual beberapa waktu lalu di sejumlah media massa, Pemerhati sekaligus Psikologi Anak Najelaa Shihab mengatakan, kejahatan seksual, jelas bukan hanya soal hukuman pada pelaku. Lebih penting dari itu, adalah intervensi dari semua pihak yang berperan sebagai pelindung bagi para korbannya.


“Karenanya dukungan kita menjadi sangat signifikan untuk memastikan hak anak akan perlindungan,” tulis Najelaa dalam unggahan di akun instagramnya, Senin (7/9) malam.


Menurutnya, kasus kejahatan seksual pada anak adalah kasus yang seharusnya  tidak banyak diperdebatkan, karena tingkat keberdayaanya yang lebih rendah. “Anak jelas bukan subjek yang bisa menyepakati tindakan pelecehan, apapun keadaan yang dikemukakan pelaku sebagai alasan,” ujar Pendiri Rumah Main Cikal itu.


Ia menyebutkan hanya 12 persen kasus kejahatan seksual pada anak yang dilaporkan. Hal itu, kata Najelaa, tidak lain karena pelapor kerap mendapat stigma bahwa motifnya adalah popularitas atau mendapat imbalan. 


“Pelapor dianggap mempermalukan keluarga dan bahkan mendapatkan tekanan sosial dan emosional dari lingkungan,” kata perempuan yang akrab disapa Ela itu.


Keheranan lain, lanjut Ela, dari 1000 hanya 6 pelaku kejahatan seksual pada anak yang dipenjarakan. Padahal setiap 9 menit, selalu ada kasus baru yang dideteksi dan ditemukan. “16-28 persen anak menjadi korban paling tidak sekali sepanjang kehidupan,” lanjutnya.


Ironisnya, di saat pelaku sudah bebas dari tahanan, penyintas tetap menjadi korban yang berkelanjutan. Ela menerangkan ditemukan beberapa data bahwa 40 persen murid terpaksa berhenti sekolah, 63 persen pindah sekolah, dan 75 persen dari penyintas masih mengalami gangguan psikis setidaknya sampai 5 tahun kemudian.


“Trauma berkepanjangan, depresi tak berkesudahan, pengalaman ini menjadi bumerang yang menimpa korban berulang dalam berbagai tahap berkembangan,” terang dia.


Secara tegas, ia menambahkan, trauma pada korban lebih berat  dan lama waktunya daripada hukuman yang dijatuhkan pada pelaku kejahatan tersebut. “Sekali lagi-jauh lebih lama dan panjang dari masa tahanan si penjahat kemanusiaan,” tegas putri sulung Prof Quraish Shihab itu.


Terkait glorifikasi di tayangan publik, melalui keterangan tertulis pada Senin (6/9/2021), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga menyampaikan, pemerintah sudah menggariskan tidak memberikan toleransi terhadap segala bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual dan pelecehan seksual. 


Dia berharap semua media dapat memberikan tayangan dan tontonan yang mendidik, mencerdaskan, menginspirasi, sekaligus menghibur. Terlebih media penyiaran yang dapat diakses oleh semua usia, turut bertanggung jawab terhadap seluruh kontennya supaya ramah anak. 


Bukan sekadar mengejar peringkat tinggi atau jumlah penonton yang banyak, menurutnya, tayangan juga seharusnya memberi pesan-pesan pencegahan kekerasan terhadap anak. “Kami berharap kebijakan di bidang penyiaran dan di ranah publik harus seimbang antara kebutuhan popularitas seseorang dengan dampaknya," ucap Bintang Puspayoga.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Syakir NF