Sebab-sebab Perkawinan Dini Temuan Fatayat NU
NU Online · Senin, 27 Februari 2017 | 05:02 WIB
Di tahun 2012, di wilayah ASEAN, Indonesia adalah negara dengan jumlah perkawinan anak tertinggi kedua setelah Kamboja (BKKBN 2012). Sementara data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012 menyebutkan jumlah perempuan yang menikah di usia 10-15 tahun mencapai 11,13 persen; sedangkan perempuan usia 16-18 tahun menikah sebanyak 32,10 persen (BPS, 2013).
Artinya, perempuan yang melangsungkan perkawinan di usia sampai dengan 18 tahun di Indonesia pada tahun 2012 mencapai sekitar 43,23% atau hampir separuh dari jumlah perkawinan yang terjadi.
Penelitian yang dilakukan Fatayat NU (2016) melalui Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi Perempuan (PIKER) dan Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (LKP3A), menemukan perkawinan anak terjadi karena 3 faktor, yaitu kemiskinan, pemahaman keagamaan, dan tekanan sosial.
Perkawinan kerap dianggap sebagai jalan keluar dari ketidakberuntungan ekonomi. Orangtua maupun anak melihat perkawinan dapat mengentaskan kemiskinan. Orangtua berharap dengan perkawinan, anak mendapatkan kehidupan lebih baik dan lebih terjamin secara ekonomi. Sedangkan bagi anak, perkawinan sebagai salah satu cara meringankan beban orangtua.
Pemahaman keagamaan juga menjadi faktor mengapa perkawinan anak masih terjadi. Larangan berpacaran dalam Islam dan kekhawatiran zina menjadi salah satu alasan mendasar. Pacaran dianggap melanggar ajaran agama sekaligus bentuk tindakan dosa. Tanggung jawab orangtua dalam menjaga anak (perempuannya) akan terbebas dengan menikahkan mereka. Menikahkan anak juga merupakan salah satu bentuk pemenuhan hak anak yang seharusnya dipenuhi orangtua selain memberikan nama yang baik dan mendidik anak.
Sementara itu, anak menilai perkawinan yang dijalaninya merupakan bentuk kebaktian. Ajaran agama yang menegaskan birrul walidain (berbuat baik pada orantua) dipahami [salah satunya] dengan tidak menolak keputusan orangtua dalam menikahkan/menjodohkan anaknya. Menolak keputusan orantua adalah dosa, meski hati sang anak sebenarnya tidak ingin menikah di usianya saat itu.
Usia yang “dianggap” sudah tua meski baru belasan tahun, kunjungan laki-laki, dan kehamilan yang di luar perkawinan menjadi alasan mendasar terjadinya perkawinan anak. Ketika anak sudah berusia belasan tahun, orangtua merasa khawatir anaknya tidak laku jika tidak ada yang melamar. Begitu anak akan masuk usia belasan, orangtua buru-buru mencarikan jodoh untuk sang anak atau menerima pinangan yang ditujukan pada anak perempuannya.
Keyakinan bahwa sekolah tinggi mengakibatkan anak perempuan kesulitan mendapatkan jodoh juga masih ditemukan. Hal ini mengakibatkan anak segera buru-buru ditunangkan dan dinikahkan pada saat masih usia sekolah di tingkat SMP atau SMA.
Selain itu, ketika anak perempuan sudah memiliki pacar dan kerap dikunjungi sang pacar di rumahnya, orangtua merasa risih dengan desas-desus yang muncul. Hal itu menjadikan orangtua merasa penting segera menikahkan anak, agar tidak menjadi sumber gosip dan mempertaruhkan nama keluarga, apalagi sampai terjadi kehamilan. Kehamilan yang terlanjur terjadi menjadi alasan yang tidak dapat ditawar bagi orangtua untuk menikahkan anaknya, tanpa peduli apakah masih usia anak atau sudah dewasa.
Penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam kepada 14 perempuan yang pernah menjalani perkawinan anak, tersebar di Jakarta, Depok, Lebak, Jember, Medan, dan Makassar. Perkawinan anak pada penelitian ini terjadi pada anak perempuan dalam rentang usia 12-17 tahun.
Semua pasangan dari anak-anak perempuan ini adalah laki-laki dewasa dari usia 19-32 tahun. Artinya, pola perkawinan anak yang terjadi dalam penelitian ini adalah perkawinan anak perempuan dengan laki-laki dewasa. Dari 14 kasus yang ada, terdapat 2 kasus perkawinan terjadi sebelum terjadinya menstruasi dan 2 kasus yang mengalami kehamilan sebelum perkawinan.
Hasil penelitian yang diketuai Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah disampaikan pada Seminar Kajian Perkawinan Anak dan Startegi Penanggulangannya di hotel Bintang Griya Wiasta Jakarta Pusat, pekan lalu. (Kendi Setiawan/Alhafiz K)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Khutbah Jumat: Belajar dari Pohon Kurma dan Kelapa untuk Jadi Muslim Kuat dan Bermanfaat
4
PBNU Tata Ulang Aset Nahdlatul Ulama Mulai dari Sekolah, Rumah Sakit, hingga Saham
5
Kontroversi MAN 1 Tegal: Keluarkan Siswi Juara Renang dari Sekolah
6
Ekologi vs Ekstraksi: Beberapa Putusan Munas NU untuk Lindungi Alam
Terkini
Lihat Semua