Nasional RUU PESANTREN

RUU Pesantren Didorong Selesai Akhir 2018

Sab, 29 September 2018 | 00:00 WIB

RUU Pesantren Didorong Selesai Akhir 2018

Ilustrasi Sidang Paripurna DPR (ist)

Jakarta, NU Online
Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan didorong dan diupayakan selesai pada akhir 2018 tahun ini. Meskipun pembahasannya beberapa kali mandek atau terhenti, RUU ini kembali digodok sehingga saat ini sudah ada pada tahap penjadwalan di sidang paripurna DPR RI.

“RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan digodok DPR RI Komisi VII. Saat ini RUU itu pada tahap penjadwalan di badan musyawarah (bamus). Kemudian akan diagendakan untuk disahkan pada rapat paripurna,” ujar salah seorang Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU Abdul Waidl, Jumat (28/9) dalam diskusi terbatas di Kantor Redaksi NU Online.

Bagi RMINU, RUU itu merupakan pengakuan negara terhadap pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang jumlahnya sangat besar dan masih eksis hingga sekarang. 

Bahkan Waidl menegaskan, pesantren saat ini tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berperan dalam dakwah Islam dan melakukan pemberdayaan masyarakat.

“Ini fungsi yang luar biasa sehingga RUU ini akan semakin memperkuat basis Islam moderat di Indonesia. Lebih dari itu, pesantren akan menjadi rujukan Islam dunia,” jelas Waidl.

Namun, dia mencatat bahwa RUU Pesantren jangan hanya terjebak pada formalisasi dan anggaran. Ia juga harus tetap mempertahankan kekhasan, karakteristik, dan tradisi keilmuan yang saat ini konsisten dikembangan oleh pesantren.

“Rekognisi dalam Undang-Undang tersebut meliputi pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga dakwah, dan lembaga pemberdayaan masyarakat. Di tengah upaya rekognisi tersebut, RUU Pesantren jangan terjebak hanya pada formalisasi dan persoalan anggaran,” ujarnya.

Menurutnya, substansi dari pasal-pasal yang ada dalam RUU Pesantren lebih banyak persoalan teknis. Belum menyentuh pada persoalan-persoalan substantif dan hal-hal mendalam lainnya seperti terkait keilmuan dan perspektif kekhasan pesantren.

Prinsipnya Waidl mendukung terkait pengesahan RUU Pesantren untuk disahkan menjadi UU sehingga pesantren yang selama ini berjasa besar mengisi kekhasan pendidikan di Indonesia dan turut memperkuat jati diri dan moral bangsa mendapat pengakuan secara formal oleh negara.

Dalam RUU Pesantren ini, selain menjelaskan tentang pengembangan peran pesantren dalam tiga hal, lembaga pendidikan, dakwah, dan pengembangan masyarakat, pesantren terkait pendiriannya juga bersifat fleksibel. Tidak dibatasi pengakuannya hanya berdasarkan legal formal semata. Karena terdapat 28.000 lebih pesantren yang sebagian besar masih berbentuk salafiyah.

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berkewajiban mengalokasikan pendanaan dalam penyelenggaraan Pesantren dan Pendidikan Keagamaan seperti diatur dalam RUU tersebut.

Kekhawatiran sejumlah pihak terkait problem pengalokasian anggaran, harus ada edukasi dan advokasi institusi keagamaan sehingga mampu menjalankan akuntabilitas dan terhindar dari potensi praktik penyimpangan adiministrasi. (Fathoni)