Jakarta, NU Online
Populisme merebak sebagai alat mobilisasi politik untuk kepentingan pribadi. Mereka menciptakan musuh fiktif dan menampilkan diri sebagai sosok penentang musuh itu guna meraih dukungan politik.
"Mereka mengorbankan masyarakat sipil yang mempunyai cita-cita bagaimana untuk hidup bersama," kata Guru Besar Antropologi Universitas Boston, Amerika Serikat Robert W. Hefner saat memberikan kuliah umum di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Jalan Taman Amir Hamzah, Pegangsaan, Jakarta Pusat, Jumat (11/1).
Hefner mengingatkan masyarakat harus semakin sadar bahwa fenomena itu merupakan ancaman yang cukup serius. Populisme, jelasnya, adalah gerakan yang berupaya meniadakan cita-cita paling pokok bangsa Indonesia, yakni keutuhan NKRI dengan dasar Pancasila dan kewargaan yang inklusif.
"Fenomena populisme ekstrim yang meniadakan inklusifitas itu bukan ciri khas Indonesia," katanya.
Gerakan demikian itu merupakan fenomena global. Di Indonesia, hal itu tidak lebih parah dari sebagian besar negara lain yang mengalami peristiwa yang sama. Justru, lanjut Hefner, hal itu sangat berpengaruh di negaranya, Amerika Serikat.
"Lebih umum dan lebih berpengaruh di negara saya dengan naiknya Presiden Trump yang menurut saya salah seorang tokoh populis yang terus terang saja ekstrem," jelas pria yang sudah meneliti Indonesia sejak lebih dari 40 tahun silam itu.
Meskipun demikian, bukan berarti hal tersebut tidak serius melanda Indonesia. Serius betul, katanya. Karenanya, ia melihat adanya potensi merusak hubungan masyarakat mengingat identitasnya mengalami perubahan akibat media sosial dan pelemahan otoritas tradisional, kelas, dan golongan etnis.
"Orang populis mencoba memanfaatkan dengan pemilahan eksklusif dengan tekanan dan imbauan ada musuh yang mengancam kita dalam hal itu adalah orang Amerika yang menurut Trump diancam orang Amerika Latin atau dari orang Muslim," katanya.
Muslim di Polandia juga mengalami hal yang sama. Mereka diciptakan sebagai suatu hantu, katanya, meskipun jumlahnya sendiri hampir tidak ada di sana. Hal itu tetap dibuat karena bagian dari strategi.
"Karena itu memang strategi mobilisasi pokok dari populisme yang kita amati. Ini bukan fenomena di Indonesia, tapi sebagian negara lain," terangnya.
Oleh karena itu, Penulis buku Civil Islam itu menegaskan bahwa selain gerakan sosial organisasi masyarakat Islam seperti NU dan penciptaan optimisme di tengah masyarakat, mengutip pandangan Azyumardi Azra yang ia setujui, perlu juga gerakan pendidikan agama yang berbasis kewarganegaraan.
"Ini sesuatu yang bisa diatasi lewat pendidikan. Orang Indonesia itu pada umumnya cinta Indonesia. Itu berasal dari masyarakat Indonesia. Itu sesuatu sangat mendasar dan penting," pungkasnya. (Syakir NF/Fathoni)