Nasional RUU PESANTREN

Rezim Sekolah Hambat RUU Pesantren Jadi Undang-Undang

Jum, 4 Januari 2019 | 14:30 WIB

Rezim Sekolah Hambat RUU Pesantren Jadi Undang-Undang

Wasekjen PBNU H Masduki Baidlowi

Jakarta, NU Online
Wakil Sekretaris jenderal PBNU H Masduki Baidlowi menegaskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan segera menjadi Undang-Undang. Sebab, jika pemerintahan berganti, RUU itu terancam gagal. Perjuangan untuk memperbaiki nasib pesantren pun gagal.  

Menurut dia, rezim “sekolah” akan menjadi hambatan mulusnya RUU tersebut. Buktinya, pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada UU tersebut, pesantren terpinggirkan baik pada sisi rumusan dan praktiknya. 

Rezim sekolahan itu, lanjutnya, adalah warisan dari sistem penjajah ketika negara ini dijajah Belanda selama ratusan tahun. Pada satu masa, Belanda menggunakan sistem Politik Etis, yaitu irigasi, transmigrasi, edukasi (pendidikan). 

“Aspek pendidikan ini adalah bagaimana Belanda menciptakan pekerja kelas menengah bawah yang kemudian dilanjutkan oleh negara ini. Rezim sekolahan itu,” katanya.   

Sementara rezim pesantren sebagaimana dikemukakan Ki Hajar Dewantara, yaitu sistem pengajaran yang indigenous (produk asli pribumi) yang merupakan sistem asli Indonesia melalui akulturasi yang unik. Itu yang kemudian dikembangkan Bapak Pendidikan Indonesia tersebut dalam sistem pamong, yang kini diabaikan sekolah. 

“Pesantren sebenarnya sistem oposisional terhadap sistem sekolahan oleh Belanda. Karena waktu itu kiai melakukan perlawanan,” katanya lagi.

Nah, kata dia, upaya RUU Pesantren menjadi Undang-Undang saat ini pun, ada hambatan dari pihak-pihak tersebut. Termasuk di pemerintahan. Tapi tidak sedikit juga yang mendukung. 

Sementara itu, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI Ahmad Zayadi berpendapat Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan lahir dari kenyataan adanya ketidaksetaraan dalam sistem pendidikan nasional. 

“Saat ini ada ketidaksetaraan regulasi,” katanya pada diskusi di Kantor Redaksi NU Online, Gedung PBNU, Jakarta, (2/10/2018). 

Pada Undang Undang No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Undang Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pesantren hanya disebut namanya saja. Pesantren lebih banyak disebut hanya pada tingkat Peraturan Pemerintah (PP). Sementara sekolah yang berada di Kemdikbud dan madrasah di Kemenag ada pada level UU.

Dampaknya, kata dia, ada ketidaksetaraan dalam perlakuan pemerintah seperti dalam anggaran. Padahal, pesantren ini menyangkut 4 juta santri di sekitar 28.000 pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Bagi kita, RUU ini kebutuhan,” katanya.  

Melalui RUU ini, lanjutnya bisa memaksimalkan rekognisi (pengakuan) negara terhadap pesantren sebagai layanan keagamaan dari sisi regulasi. Serta kesempatan membangun sistem pendidikan dari sisi kesetaraan dengan lembaga pendidikan yang lain. (Abdullah Alawi)