Nasional

Rakernas Muslimat NU Bahtsul Masailkan Nikah Siri

Jum, 4 Desember 2015 | 10:00 WIB

Jakarta, NU Online
Komisi Bahtsul Masail Rakernas Muslimat NU di Asrama Haji Jakarta, Jumat (4/12) membahas tentang fenomena nikah siri. Bertajuk ‘Fenomena Nikah Sirri, Maslahah dan Mudharatnya Ditinjau dari Aspek Perlindungan Anak dan Perempuan’, Muslimat menghadirkan Rektor PTIQ Jakarta, Prof Dr KH Nasaruddin Umar, Komisi Fatwa MUI Pusat Prof Dr Hj Chuzaemah Tahido Yanggo, dan Ketua KPAI, Dr Asrorun Niam Sholeh sebagai narasumber.<>

Ketua PP Muslimat NU, Hj Khofifah Indar Parawansa menegaskan, bahwa hasil dari pembahasan ini akan dibawa ke musyawarah yang lebih intens lagi di Surabaya, Jawa Timur selama tiga hari. “Muslimat NU menyoroti dampak dari nikah jika sang suami ternyata menelantarkan istri, bahkan anaknya. Kita tidak ingin perempuan menjadi korban. Apalagi seorang anak yang membutuhkan perkembangan dan pendidikan untuk masa depannya,” ujar Mensos RI ini.

Karena menurut perempuan kelahiran Surabaya ini, banyak regulasi yang menyatakan bahwa anak dari hasil nikah siri tidak tercatat di catatan sipil sehingga tidak bisa membuat akte kelahiran yang seterusnya akan berdampak pada kesulitan administratif,baik sekolah, dan lain-lain.

KH Nasaruddin Umar menerangkan, nikah siri merupakan hal yang tabu di tanah bugis, karena nikah ini tidak direstui oleh orang tuanya. Sebenarnya istilah nikah siri bersebalahan dengan kawin lari, maknanya sama, nikah yang tidak direstui oleh orang tua. Nikah jenis ini cenderung negatif sehingga biasanya tidak dipestakan secara adat.

“Menimbang maslahat dan mudharatnya, nikah siri lebih banyak mudharatnya ketimbang mendatangkan maslahah. Karena nikah ini tidak tercatat di KUA, jika mempunyai anak secara otomatis  anak tidak bisa mendapatkan akte kelahiran. Padahal akte tersebut sangat penting untuk pembuatan KK, KTP, Paspor, dan lain-lain,” paparnya.

Selain itu, lanjutnya, nikah siri juga akan memberi kelonggaran terhadap praktik poligami. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap pembagian warisan, yang jika pembagian warisan diadakan secara resmi, anak tidak akan mendapatkan warisan. Kemudian, anak dari hasil nikah siri juga hanya akan diakui sebagai anak ibunya, bukan anak bapaknya. “Tentu hal ini tidak masuk akal secara hukum agama sehingga dampak-dampak buruk tadi bisa menjadi alasan fiqh, karena bisa menjadi penghalang seseorang dalam melakukan praktik-praktik sosial dan administratif,” terang Prof Nasar.

Senada dengan Prof Nasar, Prof Chuzaemah juga mengatakan, bahwa praktik nikah siri atau nikah bawah tangan dapat menyebabkan maraknya praktik poligami. “Sewaktu saya menjadi saksi ahli di MK, saya ditanya oleh para penggugat poligami, kenapa sih negara ngatur-ngatur masalah poligami yang sudah diatur di dalam Al-Qur’an?,” tuturnya. 

Chuzaemah menjawab dengan memberi qiyasan ke persoalan haji. Haji merupakan kewajiban setiap muslim, terus kenapa pemerintah ikut mengatur paspor, dan lain-lain. Padahal itu katanya kewajiban pribadi. “Biar tidak tersesat, dan ada yang bertanggung jawab jika mengalami hal-hal yang tidak diinginkan,” ucap A’wan (Dewan Pakar) PBNU ini.

Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, orang yang melakukan praktik nikah siri sesungguhnya berusaha menyembunyikan sehingga jika terjadi konflik keluarga akan berdampak pada penelantaran.

“Tapi peran KPAI dalam perlindungan anak sudah jelas. Yaitu meliputi pemenuhan hak berupa hak pendidikan, hak sosial, hak kesehatan, dan hak agama. Kemudian, perlindungan khusus yang meliputi perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, perlindungan khusus bagi ABH, korban trafiking, penyalahgunaan napza, korban bencana alam dan konflik sosial, serta anak dengan disabilitas,” paparnya. (Fathoni)