Nasional

Rais PBNU: Muslim Jangan Menutup Diri

Ahad, 21 Juli 2019 | 04:00 WIB

Rais PBNU: Muslim Jangan Menutup Diri

KH Ishomuddin (kanan)

Surabaya, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Ishomuddin mengkritik kelompok muslim yang menutup diri kelompok masyarakat lainnya. Menurutnya sikap tersebut bukan ajaran dari agama Islam yang ia yakini selama ini.
 
"Pemeluk agama Islam seharusnya terbuka kepada siapa saja, termasuk pada kalangan non muslim, jangan malah menutup diri. Karena Islam tidak mengajarkan yang demikian," ujar Kiai Ishom.
 
Pernyataan ini disampaikan karena melihat banyak pergerakan Islam di Indonesia yang hanya mau beli rumah bila ada label syar'inya, mau belanja di toko yang ada label syar'inya juga. Bahkan enggan berkumpul dengan anggota masyarakat yang mereka anggap tidak berpenampilan syar'i.
 
"Muslim jangan menutup diri untuk bergaul dengan warga negra lain hanya dengan alasan syar'i. Padahal Al-Qur'an mengajarkan kita untuk saling mengenal. Ini bahaya, bisa merusak persatuan dan kesatuan," katanya saat mengisi kajian titik temu ke-48 di Surabaya, Jumat (19/7).
 
Menurut dosen dari Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung ini sangat bahaya bila semua harus diberikan label syariah. Semisal jilbab syariat, bis syariah, pesta syariat, dan semua harus sesuai syariah versi pihaknya. 
 
"Nenek saya dulu tidak memakai jilbab seperti yang dianggap syar'i oleh kaum muda saat ini. Tapi hingga akhir hayatnya tetap muslimah," tambah Kiai Ishom.
 
Kiai Ishom menjelaskan, syariatisasi bukan tidak boleh diterapkan secara umum. Namun menurutnya, syariatisasi boleh diterapkan di Indonesia bila hal tersebut bersikap umum dan mewakili kepentingan orang banyak, tidak boleh dalam masalah individu.
 
Kiai Ishom lalu mencontohkan dalam produk undang-undang yang berlaku di Indonesia ada yang diambil dari hukum Islam. Hingga saat ini, undang-undang tersebut masih berlaku di Indonesia. Diambil hukum yang bersifat umum/publik agar tidak terjadi benturan antara individu di Infonesia.
 
"Coba buka UU nomor 1/1974 tentang perkawinan, kompilasi hukum Islam dan undang-undang wakaf, semua itu diambil dari hukum Islam. Karena asas manfaatnya bersifat umum," bebernya.
 
Namun secara tegas, Kiai Ishom menjelaskan akar perdebatan isu syariatisasi ini karena banyak umat Islam yang bersemangat mengamalkan ajaran Islam tapi memiliki ilmu sedikit. Sehingga salah paham dan cenderung menghakimi sikap yang berbeda dari kelompok lain.
 
Ia melihat banyak orang yang karena kurang ilmu agama, kurang baca, kurang diskusi yang mempersulit diri sendiri dengan takut pada simbol salib. Akhirnya, lihat tanda simbol "tambah" di ambulans takut, lihat tiang listrik juga takut, dan parno dengan simbol-simbol mirip salib.
 
"Akar masalah kita saat ini yaitu ada orang yang ilmu agamanya sedikit dan wawasan kebangsaannya tipis tapi ingin terlihat Islami. Ia tidak paham substansi dari agama yang dianutnya," pungkasnya. (Syarif Abdurrahman/Muiz)