Nasional NGAJI AL-HIKAM

Rais Aam PBNU: Banyak yang Bangga Menisbatkan Diri ke Pejabat

Sab, 12 Juni 2021 | 09:00 WIB

Rais Aam PBNU: Banyak yang Bangga Menisbatkan Diri ke Pejabat

Rais Aam Syuriyah PBNU KH Miftachul Akhyar. (Foto: Dok. NU Online)

Jakarta, NU Online
Rais Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar mengatakan, banyak orang yang bangga jika menisbatkan diri atau dinisbatkan dengan pejabat negara daripada dinisbatkan kepada Allah.


Padahal, menurut Rais Aam, nisbat terbesar adalah bisa diakui sebagai ahli dzikir menyebut nama Allah dan dekat kepada-Nya. Keterangan ini disampaikannya saat kajian rutin Kitab Al-Hikam di TVNU, Jumat (11/6).


"Ada nisbat paling rendah, semisal ada di antara kita yang jadi tetangga presiden. Padahal hanya tetangga. Itu jadi kebanggaan. Yang kecil begini saja sudah buat bangga. Padahal tidak kekal. Bagaimana lagi jika jadi dekat dengan Allah," jelasnya.


Kiai Miftah menambahkan, orang yang dekat dengan presiden ini ke mana-mana selalu bilang jika ia tetangga presiden. Meskipun kadang, presiden juga tidak mengenal dia dan membantunya. Ini fakta di masyarakat.


"Padahal presiden bukan tandingan siapa pun. Harusnya menisbatkan diri pada Allah lebih membahagiakan. Semisal jadi ahli dzikirnya Allah. Meskipun dzikirnya hanya habis salat. Ini namanya nisbat adzimah," imbuhnya.


Lebih lanjut, Kiai Miftah menjelaskan manfaat menisbatkan diri pada Allah membuat seseorang menjadi dikenal Allah, malaikat-Nya dan manusia. Sebab, ketika Allah mencintai seseorang maka Dia akan memerintahkan kepada makhluk lain ikut mencintainya.


"Sekarang kita sudah campur-aduk dengan kesenangan duniawi maka tidak merasa nikmat dzikir dengan Allah. Bangganya kalah dengan yang lain. Dzikir tidak nyambung ke Allah, sinyalnya lemah," tegasnya.


Contoh lain, tokoh yang juga Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menggambarkan seseorang yang pernah belajar sebentar kepada seorang kiai. Setelah itu mengatakan kepada banyak orang jika ia santri dari tokoh tersebut.


"Nisbat paling rendah. Katakan, saya pernah mondok di pesantren terkenal. Hanya seminggu. Maka dapat nisbat santri seminggu. Itu saja jadi kebanggaan. Dijaga. Apalagi sampai bertahun dan lulus," tutupnya.


Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Musthofa Asrori