Jember, NU Online
Prinsip wasathiyah (moderat) senantiasa menjadi pilihan warga Nahdliyin dalam menyikapi sebuah persoalan. Sebab, prinsip tersebut merupakan jalan tengah dari satu persoalan yang rumit dan cenderung berhadap-hadapan secara radikal.
Menurut pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Asembagus, Situbondo Jawa Timur, KH. Afifuddin Muhajir, wasathiyah secara umum mempunyai makna moderat atau sikap di tengah-tengah. Tidak ke kiri dan tidak ke kanan.
"Ada sekian pengertian tentang wasathiyah, bahkan bisa dimaknai dengan tindakan realistis," ucapnya saat menjadi nara sumber dalam Halaqoh Kebangsaan di aula IAIN Jember, Jumat (9/2).
Washatiyah dengan pengertian realistis, tambahnya, pernah dipakai KH. Wahid Hasyim saat mau membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saat itu, lanjut dia, panitia sembilan telah merumuskan Piagam Jakarta sebagai cikal bakal lahirnya UUD 1945. Namun sehari setelahnya, ada sejumlah tokoh, khususnya dari Indonesia timur yang merasa keberatan dengan Piagam Jakarta. Pasalnya, sebagian isinya berbunyi
"Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya......"

Diceritakannya, KH. Wahid Hasyim yang berpikiran moderat itu setuju menghapus kalimat yang menjadi keberatan kelompok lain, khususnya non Islam. Sebab, Indonesia memang bukan negara agama, ataupun sekuler.
"Jalan tengahnya ya menghapus kata-kata itu, karena realitasnya Indonesia bukan hanya dihuni oleh pemeluk agama Islam," urainya. (Aryudi A Razaq/Zunus)