Jakarta, NU Online
Nahdlatul Ulama di Jawa Barat sebagai sebuah institusi tidaklah besar sebagaimana di belahan Jawa lainnya. Masyarakat di sana juga tak banyak yang meneruskan studi pesantrennya di luar tatar Sunda.
“Belakangan setelah serangan-serangan kepada NU itu mengemuka, terutama di media sosial, ada satu kecenderungan baru di mana orang merasa bahwa ber-NU itu menjadi penting gitu,” kata Amin Mudzakkir saat mengisi Tadarus Islam Nusantara, Pusat Kajian Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta pada Jumat (2/11) malam.
Beberapa kiai yang dulunya masih tidak eksplisit menunjukkan diri ber-NU itu harus, sekarang Amin melihat mulai tampak aktif di NU. Pesantren Sukahideung, misalnya. Salah satu pesantren besar di Tasikmalaya itu tidak terlalu aktif di NU dulunya. Namun belakangan mereka mulai aktif dan secara terbuka menyatakan harus ber-NU. Hal serupa, kata Amin, terjadi di Pesantren Haurkuning.
“Ini baru saya alami sepuluh tahun terakhir ya," jelasnya dalam diskusi yang dipandu oleh Idris Masudi, Wakil Sekretaris Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) itu.
Maka tak aneh di Jawa Barat, banyak anak tokoh NU yang tidak aktif di NU. Sebab, ia menyatakan bahwa tidak ada sosialisasi atau internalisasi dari keluarga kepada generasi selanjutnya. Di samping itu, pemimpin NU di Jawa Barat juga selalu berasal dari Jawa. Hal ini tentu memberi kesan lain bagi orang Sunda., menurutnya.
Perubahan juga terlihat pada undangan ceramah. Baru-baru ini, masyarakat NU Priangan mengundang kiai dari Jawa, seperti KH Marzuki Mustamar dan KH Afifuddin Muhajir.
“Itu Ketua PWNU Jawa Timur diundang ke Tasik, ke Garut,” kata peneliti minoritas dan agama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.
Menurut Amin, hal seperti itu tidak pernah ada sebelumnya. Dulu, menurut Amin, masyarakat wilayah tersebut hanya mengundang dari Bandung. Bahkan, masyarakat setempat juga tak banyak yang meneruskan studi pesantrennya di luar Jawa Barat, atau lebih sempit lagi, Priangan. Santri Tasik, misalnya, lebih memilih melanjutkan pesantrennya ke Sukabumi atau Cianjur.
“Jadi tidak pernah ada interaksi intelektual yang luas,” terang pria kelahiran 35 tahun yang lalu itu.
Kurangnya perkembangan tradisi intelektualitas di sana membuatnya optimis jika perjumpaan jaringan keilmuan seperti di atas itu semakin dikembangkan, wawasan di Priangan akan semakin berkembang. Sebaliknya, jika hanya mengandalkan orang sekitar, ia pesimis perkembangan keilmuan masyarakat di wilayah kelahirannya itu akan berkembang. (Syakir NF/Kendi Setiawan)