Nasional

Pesantren di Indonesia Warisan Budaya yang Wajib Dijaga

NU Online  ·  Rabu, 16 November 2016 | 15:01 WIB

Pesantren di Indonesia Warisan Budaya yang Wajib Dijaga

Foto: ilustrasi pesantren.

Jakarta, NU Online
Sejak dahulu kala perkembangan dan kemajuan dunia Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh besar pondok pesantren. Setiap pondok pesantren di Indonesia memiliki figur sentral ulama yang enggan disebut-sebut sebagai ulama, sehingga mereka lebih nyaman apabila dipanggil kiai, ajengan, guru, tuan guru, Abuya dan sebagainya.

Demikian disampaikan Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Ishomuddin, Rabu (16/11). Ia menulis pernyataannya itu dalam akun Facebook pribadinya. 

Menurutnya, ulama sebagai figur sentral di pondok pesantren bukan sekedar bertanggung jawab mentransfer ilmu-ilmu dasar agama, melainkan lebih penting dari itu adalah contoh teladan terbaik di hadapan para santrinya. 

“Ulama di pondok pesantren adalah teladan mereka, karena ulama adalah manusia yang mendedikasikan hidupnya untuk senantiasa meneladani Rasulullah SAW, baik dari sisi ilmunya maupun akhlaknya,” tulis Gus Ishom.

Dengan demikian, lanjutnya, dari dunia pondok pesantren akan dan telah terlahir generasi yang bermanfaat bagi manusia lainnya, yang bukan saja pandai mengutip ayat atau hadits Nabi, melainkan lebih penting dari itu menjadi "santri" yang mampu untuk meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW. sepanjang hayatnya, sehingga ia pun menjadi contoh teladan terbaik bagi masyarakat sekitarnya.

“Saya sebut sebagai pesantren asli Indonesia, karena para kyai pengasuhnya selalu memberikan keteladanan akan arti penting mencintai tanah air Indonesia. Karena bumi Indonesia adalah tempat yang wajib dijaga keamanannya agar agama dapat terjaga dengan cara diajarkan dengan sebenar-benarnya dan dilaksanakan dengan sempurna,” urainya.

Terbukti tidak terhitung jasa para kiai dan para santri yang telah berjihad mengusir penjajah dari bumi kita, selain mengusir sejauh mungkin penyakit kebodohan dari jiwa manusia sebagai salah satu sebab pengganggu keamanan negara.

“Saya sebut pesantren asli Indonesia, karena sejak dahulu kala hingga kini nama-nama pondok pesantren itu meskipun terkadang ada nama Arabnya, namun lebih sering populer disebut nama daerah tempat lokasinya, seperti pondok pesantren Bangkalan (Madura), pondok pesantren Langitan (Tuban), pondok pesantren Lirboyo (Kediri), pondok pesantren Ploso (Kediri), pondok pesantren Tebu Ireng (Jombang), pondok pesantren Kempek (Cirebon), pondok pesantren Buntet (Cirebon), pondok pesantren Babakan Ciwaringin (Cirebon), pondok pesantren Leler (Banyumas), pondok pesantren Kesugihan (Cilacap) dan masih sangat banyak yang tidak bisa disebutkan lagi,” papar kiai muda asal Lampung ini.

Pendek kata, tambahnya, untuk menjadi pusat tafaqquh fiddin (pendalaman ajaran agama Islam) yang berasal dari dunia Arab maka tidak harus mengimpor apa saja yang berbau budaya Arab, melainkan bahwa dunia pondok pesantren tetap tidak pernah keluar dari berkomitmen untuk menjaga dan menjunjung tinggi budaya lokal. 

Dia menjelaskan, menjadi seorang muslim Indonesia itu tidak mesti harus seperti orang Arab dengan segala budayanya. Sehingga tepat dan benarlah ungkapan kaidah fikih, bahwa tidak patut keluar dari adat kebiasaan orang di sekitar kita sepanjang adat istiadat itu tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Pondok pesantren di Indonesia adalah hasil budaya asli bangsa Indonesia yang biasanya secara turun temurun diwariskan. Maka sebagai "barang warisan", setiap pondok pesantren yang ada mestilah dijaga dari kepunahan, harus terus dikembangkan dan "lebih dicanggihkan" agar tidak tergerus atau terpinggirkan oleh kompleksitas perkembangan zaman. 

“Jika tidak dipelihara, maka pondok pesantren "barang warisan" itu akan habis atau akan menjadi barang antik seperti keris sakti yang kehebatannya hanya bisa menjadi bahan cerita untuk berbangga-bangga dari para pewaris "Gus atau Kang" dunia pondok pesantren,” tutup Gus Ishom. (Red: Fathoni)