Nasional

Perlunya Menggemakan Kembali Diskursus Sastra Pesantren

NU Online  ·  Sabtu, 10 Februari 2018 | 16:02 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Sastra hanyalah narasi kecil di Indonesia. Ia belum dianggap penting. Padahal, anak kecil di Barat sedini mungkin diperkenalkan dengan sastra.

Hal itu disampaikan oleh Direktur Pusat Studi Pesantren Ahmad Ubaidillah saat mengisi kajian dengan tema Sastra dan Keberpihakan Sosial Kaum Santri di Islam Nusantara Center, Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (10/2).

Melihat realitas demikian, ia meminta agar kaum santri sebagai masyarakat yang punya kedekatan lebih dengan dunia sastra untuk mengembangkan sastra sebagai narasi besar di Indonesia.

“Sebagai kaum santri, harus memulai membangun politik literasi itu untuk menempatkan sastra tidak lagi sebagai narasi kecil yang dianggap tidak punya peran apa-apa,” tegasnya.

Pria asal Pagentongan, Bogor, itu juga menyampaikan bahwa sastra harus menampilkan realitas sosial. “Untuk menggugah kesadaran masyarakat,” katanya.

Melengkapi Kang Ubed, sapaan akrabnya, Penulis Masterpiece Islam Nusantara Zainul Milal Bizawie mengatakan, bahwa ada dua kesadaran yang harus digemakan. “Kesadaran kemanusiaan dan kesadaran ketuhanan,” terangnya.

Selain membangun politik literasi, santri juga, menurut Kang Ubed, harus menggemakan diskursus sastra pesantren. “Melalui diskusi-diskusi kecil saja,” katanya.

Sastra yang berasal dari pena warga pesantren sangat berpengaruh dalam membentuk kesadaran seperti yang disebutkan di atas. Hal ini terbukti dengan terpilihnya KH Ahmad Musthofa Bisri sebagai penerima penghargaan Yap Thiam Hien. Selain itu, syiir Syubbanul Wathan yang dianggit oleh KH Abdul Wahab Hasbullah juga berhasil menggerakkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka dari penjajahan. (Syakirnf/Alhafiz K)