Nasional

Perihal Perkawinan Sedarah Warga Sulsel, MUI: Haram dan Harus Dilarang

Sel, 2 Juli 2019 | 16:00 WIB

Perihal Perkawinan Sedarah Warga Sulsel, MUI: Haram dan Harus Dilarang

Ilustrasi pernikahan (ist.)

Jakarta, NU Online
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menegaskan, secara hukum pernikahan sedarah itu haram dan tidak boleh. Kata Kiai Cholil, keharaman pernikahan sedarah tercantum dalam Al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 23-24. 

“Surat an-Nisa ayat 23-24 inilah yang menjelaskan haramnya perempuan untuk dinikahi, termasuk adalah saudarinya atau saudara perempuannya,” kata Kiai Cholil kepada NU Online, Selasa (2/7).

Lebih dari itu, lanjut Kiai Cholil, perkawinan sedarah tetap haram meski bapaknya sendiri yang menjadi walinya. “Saya melihanya secara hukum jelas haram dan tidak boleh meskipun bapaknya sendiri wali, apalagi walinya orang lain,” tegasnya.

Sebagaimana diketahui, seorang warga Bulukumba, Sulawesi Selatan, Ansar (32) membawa kabur adiknya, Fitriani (20), ke Kalimantan. Di sana, keduanya kemudian melangsungkan pernikahan dengan diam-diam. Ansar meminta sepupunya, Samparaja, untuk menjadi wali nikahnya. Saat melangsungkan pernikahan dengan kakaknya itu, Fitriani dikabarkan telah hamil 4 bulan.

Kelakuan Ansar itu memantik kemarahan keluarganya yang ada di Bulukamba, Sulawesi Selatan. Bahkan, orang tua mereka sampai membuat pernyataan yang menyatakan bahwa keduanya tidak lagi diakui sebagai anak. 

Ansar juga diketahui sudah memiliki istri yang bernama Herfina. Herfina tidak terima dengan kelakuan suaminya itu. Ia kemudian melaporkan Ansar ke polisi dengan tuduhan perzinahan. 

Bagi Kiai Cholil, latar belakang atau motif orang tersebut menikahi adiknya sendiri harus diteliti dan didalami, terutama terkait dengan kejiwaannya. Apakah jiwa orang tersebut stabil atau tidak dan sadar atau tidak.

“Saya lebih melihat mengapa dia diam-diam dan cenderung memaksa, mungkin secara kejiwaan perlu diperiksa, perlu diteliti untuk yang sebarnya. Sehingga hukum bukan karena dia menikahnya, tapi mungkin ada ketidaksadaran dan ketidakstabilan jiwanya,” terangnya.

Menurut Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah Depok ini, praktik perkawinan sedarah seperti itu harus dilarang dan dicegah. Secara hukum, perkawinan seperti itu juga tidak sah sehingga keduanya harus dipisah.

“Harus dilarang. Bahasa hukumnya, batal demi hukum. Kalau disuruh cerai berarti pernah sah. Jadi gak sah sama sekali. Jadi ini batal demi hukum dan harus dilarang, harus dicegah oleh kita. Harus dipisah karena tidak sah secara hukum. Kalau berbuat di luar itu, berarti dia melanggar syariat hukum Islam yang tidak sah untuk dinikahi. Apalagi dia ngomongnya agamanya Islam,” urainya. (Muchlishon)