Nasional

Perbanyak  Saluran Islam Ramah untuk Tangkal Ekstremisme Anak Muda

Sel, 12 Mei 2020 | 10:09 WIB

Perbanyak  Saluran Islam Ramah untuk Tangkal Ekstremisme Anak Muda

Tangkapan layar Bedah Buku ‘The Ilusion of an Islamic State-Bagimana Masa Depan Gagasan Negara Islam’ yang digelar secara virtual oleh Yayasan LkiS dan International NGO Forum on Indonesian Devlopment, Selasa (12/5) pagi.

Jakarta, NU Online
Dalam situasi apa pun, ideologi dan gerakan kelompok ekstrem harus terus diawasi oleh berbagai pihak terutama oleh pemerintah. Menurut Peneliti Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Muhammad Iqbal Ahnaf, anak muda cukup masif bergabung dengan kelompok Islam garis keras 7 dalam tahun terakhir ini. Hal itu disebabkan sedikitnya saluran pembelajaran dan doktrin Islam ramah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan spiritualitas kalangan mereka. 

Karena itu penting sekali memperbanyak saluran pembelajaran Islam ramah atau Islam moderat agar kalangan anak muda yang haus akan ilmu agama tersebut mendapatkan banyak perspektif soal ketentuan pemahaman dalam agama Islam. 

“Selama ini memang ada ruang kosong yang tak diisi kelompok pluralis. Padahal jika diperbanyak saluran pembelajaran Islam damai, Islam moderat dan Islam ramah kesempatan pemahaman radikal berkembang itu sangat kecil,” kata Muhamad Iqbal Ahnaf saat menjadi narasumber Bedah Buku The Ilusion of an Islamic State-Bagimana Masa Depan Gagasan Negara Islam yang digelar secara virtual oleh Yayasan LkiS dan International NGO Forum on Indonesian Devlopment (INFID), Selasa (12/5) pagi. 

Ia mengatakan, kehadiran negara untuk menangkal pemahaman ekstrem di Indoensia sangat dibutuhkan. Selama ini, lanjutnya, negara terlalu pragmatis saat melakukan langkah-langkah strategis melawan ekstremisme. Pemerintah hanya menyampaikan pendekatan ideologi bangsa dan negara sebagai counter ideologi agama yang salah. 

Padahal, kata dia, menghadirkan saluran yang bisa membuat kelompok garis keras sadar  sangat mungkin dilakukan. Misalnya mendorong kepada ulama-ulama yang memiliki otoritas kuat menyampaikan pemahaman agama islam yang tepat mengisi ruang media digital. 

Selain itu pendekatan kelompok teroris dalam mencuci otak masyarakat menggunakan doktrin pergaulan dan kemanusiaan. Maka penting, hal yang pertama dilakukan bukan meluruskan ideologi mereka yang keliru tetapi mendekati kepribadian seseorang atas nama sesama manusia. 

“Tapi sebenarnya radikalisasi dilawan dengan suara alternatif atau second opinion dia sedikit demi sedikit akan mendapatkan banyak sudut pandang sehingga tidak tok pada satu pemahaman. Kemudian, ketika kita meluruskan mereka tidak hanya bicara ideologi tapi juga bicara kemanusiaan,” tuturnya. 

Iqbal menegaskan, yang paling rentan dari radikalisasi tersebut yakni hadirnya perspektif tunggal pada seseorang terkait pemahaman Islam. Semua pihak perlu berhati-hati sebab jika kekerasan secara terus menerus disaksikan oleh seseorang maka suatu saat akan dipandang sebagai suatu kebenaran, yang tak dapat lagi diluruskan. 

“Jadi menurut saya yang bisa dilakukan pemerintah dan kita semua adalah dengan menghindari kegiatan kekerasan dan menciptakan ruang lebih luas suara pluralis, moderat,” katanya. 

Sebagai mana diketahui, data Badan Inteleijen Negara (BIN) tahun 2018 terdapat 400 WNI yang bergabung dengan ISIS. Mereka terdoktirin oleh pemahaman agama yang ditemuinya di media sosial dan dari ajakan kelompok-kelompok islam yang kerap menggaungkan jihad-khilafah sebagaoi solusi atas berbagai persoalan di dunia.  

Selain itu ada 31.500 orang bergabung dengan ISIS dari berbagai belahan dunia. Meski ISIS sudah dapat ditaklukan, mantan-mantan pengikuti ISIS masih perlu diawasi mengingat doktrin yang diyakini belum dapat dipastikan kembali ke jalan yang benar.  

Pewarta: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Abdullah Alawi