Nasional

Peradaban Islam dan Lain Saling Bersanding, Bukan Bertanding

Sel, 4 April 2023 | 23:00 WIB

Peradaban Islam dan Lain Saling Bersanding, Bukan Bertanding

Rektor UII Fatkhul Wahid di Seminar Nasional "Menafsirkan Kembali Gagasan Fiqih Leradaban dalam Perspektif Geopolitik Islam" di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (4/4/2023). (Foto: YouTube UIN Sunan Kalijaga).

Jakarta, NU Online
Peradaban Islam memilih bersanding dengan peradaban lainnya, bukan bertanding. Karenanya, hal ini memiliki konsekuensi berupa kesadaran bahwa peradaban Islam bukanlah titik nol, melainkan ada peradaban yang sudah ada jauh sebelumnya.


Hal tersebut disampaikan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fatkhul Wahid saat Seminar Nasional bertema Menafsirkan Kembali Gagasan Fiqih Peradaban dalam Perspektif Geopolitik Islam di Gedung Prof Soenarjo, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (4/4/2023).


“Peradaban saling belajar. Islam belajar dari Yunani itu tidak bisa dibantah. Eropa sekarang maju belajar dari Islam itu juga tidak bisa dibantah. Sehingga dengan cara berpikir seperti ini, kita menjadi sadar bahwa peradaban itu tidak bisa berdiri sendiri secara eksklusif, tetapi saling belajar,” katanya sebagaimana disiarkan di kanal YouTube UIN Sunan Kalijaga.


Hal ini terbukti dengan adanya tradisi penerjemahan yang terjadi mulai khalifah kedua Abbasiyah Abu Ja’far al-Manshur, dilanjutkan Harun ar-Rasyid dan al-Makmun mulai pertengahan abad 8 tahun 750-an sampai akhir abad 10.


Menariknya, kata Wahid, ada beragam teori yang menjelaskan penerjemahan itu sangat masif. Hal itu menjadi tonggak awal ilmu pengetahuan di dunia Islam. Penerjemahan kalau dilihat didukung oleh hampir semua elemen masyarakat, mulai khalifah, militer, saintis, saudagar, dan sebagainya.


Bahkan di zaman kerajaan Islam itu, salah satu penerjemah terkenal yang banyak menerjemahkan buku adalah Hunain bin Ishaq, seorang Kristen Siriak yang pandai berbahasa Yunani dan bahasa Arab.


“Penerjemahan saat itu sangat mulia sampai diberi gaji 500 Dinar per bulan. Hal ini setara 2 kilo emas per bulan atau 2 miliar rupiah per bulan. Karena posisinya yang sangat mulia saat itu,” terangnya.


Namun, ia menggarisbawahi bahwa umat Islam tidak mampu mengapresiasi kemampuan diri sendiri dan tidak mampu memahami realitas kontemporer, serta tidak bisa merespons dengan cepat. Tak pelak, kontribusi umat Islam hanya dua persen dari satu perlima seluruh penduduk dunia.


Karenanya, Wahid menegaskan perlunya mengembangkan sains dan teknologi ini dalam peradaban. “Kita tidak mungkin membangun peradaban tanpa membangun sains dan teknologi ketika ini diamini sepakat bahwa kita perlu mencari cara sains ini bisa berkembang,” tuturnya.


Sementara itu, Mohtar Mas'oed menyampaikan bahwa ada adagium yang menyebutkan bahwa jika ingin damai, maka harus siap berkelahi. Namun, ia menegaskan, hal yang perlu diambil adalah adagium lain, bahwa keinginan damai harus ditunjukkan dengan perbuatan keadilan.


“Kalau ingin damai buatlah keadilan,” kata pensiunan Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu.


Pewarta: Syakir NF
Editor: Musthofa Asrori