Jakarta, NU Online
Rais Aam PBNU, KH Miftakhul Akhyar menjelaskan berkaitan dengan spesifikasi seorang ulama yang alim berdasarkan pendapat Imam Syafi’i adalah yang berpegang teguh pada aturan agama pada setiap kondisi, dan aktif dalam mengamati umatnya.
"Kriteria inilah yang perlu dimiliki oleh Syuriyah NU," katanya pada pembukaan Pendidikan Pengembangan Wawasan Keulamaan (PPWK) yang diadakan Lakpesdam NU, Ahad (18/11) di Pusdiklat Kemnaker Jakarta Timur.
Selain itu, ada sifat lain seperti al arif bi halli ummati, mengikuti denyut jantung masyarakat. Untuk itu dibutuhkan dua persyaratan yaitu kafful adda artinya menjaga atau mendampingi atau membantu agar tidak ada mudharat yang menimpa umat. Kedua, ba'dul nada artinya memberikan (melayani) umat.
Dengan begitu syuriyah NU mempunyai tantangan karena seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya sama dengan orang mengajak masuk surga, tetapi pintunya dihadang. "Kalau seperti itu, kalian seperti buah difel, pohon yang tumbuh di jurang tetapi rasanya pahit walaupun bagus dan indah," ia mengibaratkan.
Pada program dengan peserta para kiai muda dari Lampung, Bengkulu, Sulawesi Barat, Jambi, Kalimantan Timur, Brebes, serta Jakarta ini, Kiai Miftakhul Akhyar juga mengingatkan ada dua jenis perselingkuhan di dunia, yaitu perselingkuhan ilmu dan perselingkuhan harta.
Perselingkuhan ilmu seperti kasus korupsi yang dilakukan oleh orang-orang pandai. Dan langkah untuk mengghindari dua kejadian itu adalah dengan berpedoman pada ajaran agama dan menghindari hidup bermewah-mewahan atau zuhud.
Sebelumnya Kiai Miftakhul Akhyar mengatakan berkaitan dengan lembaga syuriyah di PBNU, semangat yang mendasarinya seperti dalam dalil yang menyebutkan bahwa hikmah adalah ilmu naafi' atau ilmu yang bermanfaat.
"Allah menganugrahkan alhikmah kepada siapa yang dia kehendaki. Dan barangsiapa dianugerahi hal tersebut, akan menyukai hal yang mendekati hikmah tersebut,” katanya mengutip sebuah dalil.
Berkaitan dengan ilmu, menurut Kiai Miftakhul Akhyar sejatinya itu milik umat. Jika ilmu telah hilang, umat Islam harus kembali mencarinya. Jika tidak, akan berkembang penyakit fanatisme. Menurutnya ilmu milik siapa saja. Setiap orang memiliki ilmu.
"Jadi tidak boleh menganggap semua tindakan seseorang salah, sebab setiap orang memiliki kebaikan atau ilmu dalam dirinya," urainya lagi.
Ia mengingatkan bahwa semua manusia dalam keadaan mabuk, kecuali ulama. Dan ulama juga mabuk jika tidak mempraktikkan ilmunya. Situasi ini sudah dibaca oleh Al-Mustari pada abad keempat dan kelima.
"Tanggung jawab syuriyah itu sangat berat, sebab bertanggungjawab pada lembaga sekaligus harus memperbaiki masyarakat," pungkasnya. (Red: Kendi Setiawan)