Jakarta, NU Online
Ahli Kelautan Zaki Mubarok Busro menilai pelarangan penggunaan cantrang secara jangka pendek terkesan menyengsarakan rakyat, tapi secara jangka panjang sebenarnya untuk kepentingan para nelayan.
"Gejolak tersebut terjadi karena nelayan telah terlalu lama menggunakan cantrang," kata Zaki saat dihubungi NU Online via handphone, Senin (22/1) terkait polemik kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang pelarangan menangkap ikan dengan alat tangkap cantrang.
Menurut Zaki, dalam kenyataannya, pelarangan penggunaan cantrang tidak hanya keinginan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun juga aspirasi arus bawah para nelayan kecil dan tradisional di bawah yang selama ini dirugikan oleh para nelayan yang menggunakan alat tangkap cantrang dengan ukuran maksimal sampai dengan 30 Grasston.
Ditanyakan dampak negatif penggunaaan cantrang, pria kelahiran Jepara, Jawa Tengah ini mengatakan, sifat cantrang yang pengoperasiannya secara aktif menyentuh dasar laut memberikan banyak dampak negatif, terutama terkait dengan sustainability (berkelanjutan) dan bycatch (sampingan).
"Apabila alat tangkap ini terus dilanjutkan, maka terumbu karang akan mengalami kerusakan. Apabila rumah ikan tersebut hilang, maka ikan pun akan musnah pula," jelas pria yang tengah menempuh studi doktoral di Australia National Centre for Ocean Resources and Security (ANCORS), University of Wollonggong ini.
Selain itu, lanjutnya, cantrang juga sangat merugikan dari segi tangkapan sampingan. Biasanya tangkapan sampingan tersebut akan dibuang kembali ke laut dengan kondisi yang tidak layak akibat terkena jaring karena tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Merujuk ke Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/2015, penggunaan cantrang merusak lingkungan laut. Dampak negatif penggunaan cantrang ini sudah diakui sejak tahun 1980 dengan diterbitkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 503/Kpts/UM/7/1980, kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Dirjen Perikanan Nomor IK.340/DJ.10106/97 sebagai petunjuk pelaksanaan dari larangan penggunaan cantrang.
"Dan jangan lupa, kedua regulasi tersebut merupakan amanat UU 31/2004 sebagaimana diubah dengan UU 45/2009 tentang Perikanan Pasal 9 (1) yang intinya larangan penggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan. Namun sayangnya law enforcement di lapangan tidak efektif," jelasnya. (Husni Sahal/Kendi Setiawan)