Nasional

Pencegahan Intoleransi di Kalangan Sekolah Harus Komprehensif

Ahad, 2 Februari 2020 | 19:00 WIB

Pencegahan Intoleransi di Kalangan Sekolah Harus Komprehensif

Ilustrasi keberagaman

Jakarta, NU Online

 

Upaya mengikis bibit intoleransi di lingkungan pendidikan seharusnya dilakukan dengan menyeluruh, baik dengan memperhatikan bahan ajar atau kurikulum, atau juga kapasitas dan kecenderungan tenaga pengajar.

 

Hal itu disampaikan Pengurus Pusat Fatayat, Riri Khairoh di Jakarta beberapa waktu lalu. Bahan ajar yang dimaksud bisa jadi materi utama atau materi tambahan yang tidak diatur oleh kementerian yang bersangkutan.

 

“Pertama yang perlu ditinjau adalah kurikulum formalnya seperti apa. Apakah bahan ajar yang ada itu mengandung materi yang bisa menyebabkan siswa itu kemudian menjadi intoleran. Karena selama ini, bahan ajar ini sudah melewati screening yang cukup panjang, tetapi kadang-kadang justru yang lolos dan ditemukan di lapangan itu adalah bukan bahan ajarnya, tapi bacaan pendampingnya,” ujar Riri Khairoh menjelaskan.

 

Selain kontrol terhadap kurikulum pendidikan, lanjutnya, penting pula untuk memperhatikan para guru atau tenaga pendidik agar tidak mengajarkan hal-hal yang bisa mengarah pada intoleransi. Sebab bagaimanapun, lanjutnya, para murid cenderung mengikuti apa yang dikatakan gurunya.

 

“Karena kalau gurunya bilang A, maka pasti muridnya juga akan mengikutinya. Nah, menurut saya, ini justru yang harus terus diawasi, bagaimana perspektif guru terkait dengan isu-isu intoleransi maupun radikalisme itu sendiri,” lanjutnya.

 

Oleh karena itu menurut Riri, perlu adanya upaya-upaya untuk mengikis benih intoleransi di sekolah seperti kampanye-kampanye perdamaian dan multikulturalisme. Karena sekolah yang lokasinya bukan di kota besar biasanya homogen sehingga murid jarang mengenal yang misalnya di luar keimanan dia atau di luar sukunya dia.

 

“Jadi menurut saya penting untuk para pendidik itu membuka ruang seluas-luasnya buat anak didiknya untuk membuat ruang perjumpaan antara mereka yang berbeda-beda. Tujuannya tentu supaya anak didik ini mengerti bagaimana menghargai dan menghormati orang teman mereka yang berbeda. Sehingga sekolah itu tidak boleh eksklusif hanya untuk kelompok tertentu,” katanya.

 

Isu intoleransi di sekolah bukan isu baru. Pada  tahun 2016 Wahid Foundation menggelar sebuah  terhadap 1.626 responden yang merupakan anggota Kerohanian Islam (Rohis). Hasilnya cukup mengejutkan. Lebih dari 60 persen aktivis rohis siap melakukan jihad ke wilayah konflik saat ini. Bahkan, 68 persen setuju untuk berjihad di masa mendatang.

 

Riri menilai, fenomena itu berasal dari alumni Rohis yang masih memiliki pengaruh di sekolah. Namun, karena sifat kegiatan ekstrakulikuler, sehingga kerap luput dari pengawasan sekolah.

 

“Sebenanya pengaruh dari para alumni terhadap kegiatan yang sifatnya ektra, karena kegiatan yang sifatnya wajib biasanya alumni tidak bisa untuk ikut intervensi. Jadi bisa melalui ekstra kurikuler, kemudian melalui Rohis atau misalnya pengajian bulanan. Nah, itu yang harus mendapatkan perhatian dari pihak sekolah untuk terus melakukan kontrol. Sekolah harus tahu sebenanrya alumni ini mengajarkan apa,” ujarnya.

 

Karena menurutnya, ada banyak alumni-alumni dari masing-masing sekolah yang mempunyai misi untuk melakukan 'transfer' ideologi yang selama ini mereka pegangi agar itu bisa di internalisasi oleh para junior di sekolahnya dulu. Apalagi kalau sekolah ini melihat alumninya tersebut mungkin sukses di berbagai bidang atau seperti bisa dijadikan role model, sehingga sekolah kadang kurang memperhatikan apa misi-misi dari para alumninya tersebut

 

“Nah itu yang harusnya pihak sekolah ikut mengontrol apakah alumni itu memberikan dampak yang positif dalam arti membuat misalnya anak-anak sekolah itu menjadi lebih aktif, lebih toleran dan sebagainya ataukah justru malah para alumni ini mengajarkan misalnya ideologi-ideologi yang bertentangan dengan kemajemukan dan juga keberagaman yang ada di Indonesia,” kata Riri.

 

Editor: Ahmad Rozali