Nasional

Pelajar NU DIY Bedah Kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah

Selasa, 11 Maret 2014 | 12:00 WIB

Yogyakarta, NU Online
Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari menulis Risalah Ahlusunah wal-Jamaah dilatarbelakangi dari mengamati fenomena masyarakat terkait akidah umat Islam, terutama di Indonesia dan khususnya di Jawa.<>

Pembedah kitab itu, Abbas, berpendapat demikian diskusi bertempat di Dinas Kebudayaan Yogyakarta, Ahad Malam (9/3).

“Ketika kita menghadapi kelompok-kelompok yang mudah mengatakan bid’ah, kita jangan menghadapi dengan emosi ataupun nafsu. Tapi harus menggunakan kekuatan dalil,” katanya.

Selama ini, kata dia mereka lebih banyak menyerangnya menggunakan kekuatan Al-Qur’an dan Hadits. Padahal ini penting untuk pegangan kita. Di kalangan pesantren sendiri kajian-kajian terkait ulumul Qur’an dan hadits masih kurang begitu populer.

“Di pesantren banyak yang dikaji adalah nahwu, sharaf, fiqih dan lain sebagainya,” Dewan Usatadz Pesantren Luqmaniyah Yogyakarta ini.

Ia juga menjelaskan bahwa ketika kita bisa menyatakan hadits yang menjadi landasan kita dalam beribadah itu shahih dengan disertai landasan ulumul hadits, maka kita tidak merasa kebingungan ketika ditanya oleh kelompok mereka.

“Artinya dengan tidak mengurangi rasa taklid kepada para ulama, kita juga harus bisa mengedepankan sisi ilmiah. Sehingga bukan masalah sikap, tetapi lebih pada penguatan-penguatan terhadap dalil yang akan dikembangkan,” jelasnya.

Selain itu, ia juga menambahkan bahwa Mbah Hasyim dalam kitab tersebut menjelaskan ada aliran-aliran yang telah keluar dari jalur, yaitu golongan-golongan yang bertolak kepada sahabat Abu Bakar. Mereka berkenan terhadap sahabat Rasulullah, tetapi mereka mengangungkan berlebihan kepada Sayidina Ali dan juga keluarganya.

“Bukan berarti dilarang untuk mencintai sahabat Ali, bahkan itu suatu anjuran. Persoalan itu muncul ketika mereka mengesampingkan sahabat-sahabat lainnya. Bahkan mereka juga sampai berani mengatakan bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan selain Ali itu hadits yang bermasalah atau dhaif,” terang Abbas.

Lalu ia juga menambahi bahwa golongan kedua yang dianggap keluar dari jalur menurut Mbah Hasyim yaitu golongan yang ketika merasa cinta kepada Allah mereka menyatakan bahwa mereka sudah tidak mempunyai kewajiban untuk ibadah kepada Allah Swt. (Nur Sholikhin/Abdullah Alawi)