Jakarta, NU Online
Tidak ada pemerintahan yang berdaulat di Hadramaut saat Al-Habib Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-Haddad hidup. Masyarakatnya taklid buta pada tokoh kharismatik di wilayahnya masing-masing. Hal itu melahirkan varian-varian ajaran Islam.
"Tidak ada uniformitas. Ini masalah besar," kata Habib Ismail Fajrie Alatas mengutip pernyataan Imam Al-Haddad saat memberikan kuliah umum pada orientasi akademik mahasiswa baru program magister Islam Nusantara di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Jalan Taman Amir Hamzah No. 8, Pegangsaan-Menteng, Jakarta Pusat pada Kamis (30/8).
Oleh karena itu, esensi paradigma Haddadiyah, menurutnya, adalah kurikulum baru. Tujuannya guna mereproduksi keislaman agar semuanya berstandar.
Asisten profesor di Universitas New York itu mengungkapkan bahwa kurikulum baru yang dihadirkan oleh Habib Abdullah al-Haddad itu padat dan ringkas. Ada tiga bidang yang ia standarkan.
Pertama, kata pria yang akrab disapa Bib Aji itu, materi yang berkaitan dengan teologi. Imam al-Haddad menulis kitab Risalatul Jamiah untik fan tersebut.
Kedua, lanjutnya, materi yang berkaitan dengan fiqih dengan dipilihnya kitab Bidayatul Hidayah dan Mukhtashar Lathif atau yang akrab disebut oleh masyarakat Indonesia sebagai Bafadhal.
Ketiga, materi dzikir dan awrad yang dirangkum dalam kitab Ratib al-Haddad. "Sebenarnya kompilasi dzikir Nabawiyah," katanya.
Kegiatan ini tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa Unusia, tetapi beberapa tokoh turut mengikuti kuliah dari antropolog dan sejarahwan itu. Di antaranya, hadir Guru Besar Filologi UIN Jakarta Oman Fathurahman, Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, Direktur SAS Institute Imdadun Rahmat, Politisi Tsamara Amany Alatas, dan para dosen Unusia. (Syakir NF/Abdullah Alawi)