Nasional

Pakar Tafsir Indonesia Sebut Pancasila sebagai Nilai yang Disepakati Bangsa

Rab, 17 Juli 2019 | 12:00 WIB

Jakarta, NU Online
Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dengan bahasa yang berbeda-beda. Masing-masing bangsa atau yang biasa disebut umat juga memiliki nilai tersendiri yang bisa jadi tidak dimiliki oleh umat lainnya.

“Salah satu di antara ayat yang bicara umat bahwa setiap umat punya nilai,” terang Quraish Shihab, pakar tafsir Al-Qur’an Indonesia, saat Halal bi Halal dan Milad ke-47 Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (17/7).

Orang-orang Amerika, Eropa, ataupun China, ia mencontohkan, memiliki nilainya masing-masing. Orang Islam juga, katanya, mempunyai nilai tersendiri. Pun dengan bangsa Indonesia. Karenanya, terang guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, setiap orang harus menyesuaikan diri dan aktifitasnya dengan nilai-nilai yang ada dalam setiap umatnya.

“Nilai-nilai yang disepakati oleh bangsa ini adalah Pancasila. Itu yang harus digarisbawahi,” tegasnya.

Semua orang, menurutnya, dapat tertampung selama sejalan dengan nilai-nilai yang telah disepakati tersebut. Meskipun demikian, ia melarang memaki orang lain yang tidak sejalan.  “Jangan memaki orang walaupun tidak setuju dengan dia. Jangan memaki. Ajaran ini bukan untuk memaki,” tegasnya.

Menurutnya, boleh saja mengkritik pandangan orang lain yang berbeda tersebut. Tetapi harus dibarengi dengan rahmat dan kasih sayang. “Silakan tetapi kritik yang membangun yang penuh rahmat dan kasih sayang,” katanya.

Lebih lanjut, penulis buku Tafsir al-Misbah itu menjelaskan bahwa membicarakan rahmat kerap kali tak terlepas dari al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 107, wa maa arsalnaka illa rahmatan lil alamin. Ayat tersebut seringkali diterjemahkan dengan kami tidak mengutus engkau kecuali membawa rahmat bagi alam semesta. Menurutnya, terjemahan demikian salah. Pasalnya, semua merupakan rahmat itu sendiri.

Allah dan Nabi Muhammad merupakan rahmat itu sendiri. Nabi terakhir itu satu-satunya makhluk yang disebut sebagai rahim. “Beliau bukan membawa rahmat, tapi beliau itu rahmat,” katanya.

Karena Nabi Muhammad itu merupakan rahmat, maka semua dari dirinya merupakan rahmat, mulai dari ucapannya, perbuatannya, tindakannya, ajarannya, risalah yang dibawanya, hingga alam yang menerima ajarannya juga rahmat. (Syakir NF/Abdullah Alawi)