Nasional

Padepokan Padasuka Helat Seminar Pengaburan Sejarah

NU Online  ·  Kamis, 12 Maret 2015 | 16:07 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Padepokan Dakwah Sunan Kalijaga (Padasuka) menghelat seminar nasional bertajuk “Menelusuri Indikasi Pengaburan Sejarah Islam Nusantara”. Kegiatan tersebut merupakan kerja sama dengan Dewan Mahasiswa (Dema) Fakultas Adab dan Humaniora.
<>
Acara tersebut digelar di aula Student Center UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (12/3) siang. Diskusi tersebut menghadirkan tiga sejarawan: Wakil Ketua PP Lesbumi NU KH Agus Sunyoto, Prof Ahmad Mansur Suryanegara, dan Ridwan Saidi.

Pengasuh Padasuka KH Syarif Rahmat dalam sambutannya mengatakan, kegiatan ini dimaksudkan untuk menjernihkan pemahaman keislaman masyarakat. “Saya harap, diskusi ini membuka cakrawala pemahaman baru sejarah kita,” ujarnya.

Menyoal tentang pengaburan suatu sejarah, Kiai Syarif Rahmat memberikan satu contoh. Suatu ketika, para dukun dan tukang santet di zaman Nabi Sulaiman kehilangan pasaran. Lalu mereka bersekongkol untuk mengdongkel kekuasaan Raja Sulaiman. Mereka pun sepakat menyelundupkan sejumlah orang untuk menjadi punggawa istana Sulaiman.

“Setelah situasi dirasa aman, mereka mengubur sejumlah peralatan sihir di bawah singgasana Raja Sulaiman. Beberapa waktu setelah Sulaiman wafat, mereka lalu berkumpul untuk mengatur strategi. Mereka membagi tugas, ada yang jadi tim gabungan pencari fakta (TGPF), ada pula yang bagian berita,” tutur Kiai Syarif menirukan mereka.

TGPF itu, lanjut Kiai Syarif, lalu meminta izin untuk masuk istana dengan dalih penyelidikan. Lalu, mereka pun membongkar apa yang pernah mereka tanam di bawah kursi Sulaiman. Mereka lalu pura-pura terkejut. Tanpa banyak komentar, mereka lalu melakukan konferensi pers yang pesertanya adalah anggota mereka sendiri.

“Singkat cerita, sejak itu terbentuklah opini bahwa Sulaiman adalah tukang sihir, pendusta yang memutarbalikkan fakta. Mereka mengambil kesimpulan bahwa Sulaiman selama ini menggunakan kekuatan sihir,” paparnya. 

Hal ini, lanjut Kiai Syarif, berlangsung hingga ribuan tahun hingga datang seorang pembaharu, yakni Nabi Muhammad SAW. Mereka lalu marah karena memandang penjelasan Rasulullah merupakan hal baru.

Rasulullah juga menjelaskan kepada mereka bahwa Baitullah yang paling tua adalah yang ada di Mekah, bukan yang di Baitul Maqdis. “Apa alasanmu, Muhammad. Sejarah kan harus ada buktinya,” kata mereka.

Lalu Rasulullah mengajukan tiga bukti dan fakta bahwa Baitullah yang di Mekah itu lebih tua. Sementara orang-orang Yahudi dan Nasrani beranggapan sebaliknya. Pertama, ayat bayyinat itu ayat-ayat yang nyata. Yakni, adanya maqam Ibrahim lebih tua sepuluh generasi baru sampai Sulaiman.

“Kedua, siapapun yang masuk ke wilayah Ka’bah di Mekah merasa aman yang mana hal tersebut disepakati tiga agama karena menghormati kewingitan daerah itu. Ketiga, adanya kewajiban melakukan ibadah haji ke Baitullah, bukan ke Baitul Maqdis,” tandasnya.

Kiai Syarif berkesimpulan, peristiwa semacam itu bukan tak mungkin terjadi pada masa berikutnya. Peristiwa pemalsuan sejarah ala Yahudi dan Nasrani bisa saja terjadi di negeri tercinta ini.

“Oleh karena itu, ketika saya berkeliling sowan ke para kiai dan para tokoh, saya berpandangan bahwa sekarang ini saatnya para pendekar sejarah bicara untuk Indonesia, bukan untuk orang lain,” pungkasnya. (Musthofa Asrori/Abdullah Alawi)