Nasional

Nyai Sholichah Munawwaroh Teladan 'Single Parent' yang Inspiratif

Jum, 30 Juli 2021 | 22:00 WIB

Nyai Sholichah Munawwaroh Teladan 'Single Parent' yang Inspiratif

Keluarga KH Wahid Hasyim dan Nyai Hj Sholichah (Foto: Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)

Jakarta, NU Online
Nyai Hj Lily Chadijah Wahid mengenang sosok ibunya sebagai inspirator dan motivator untuk dirinya dan lima saudaranya: KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nyai Hj Aisyah Baidlowi, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), dr Umar Wahid dan KH Hasyim Wahid (Gus Im). 


"Ibu itu ditinggal Bapak masih sangat timur, sangat muda, baru 27 atau 28 tahun. Dan, sampai usia 74 beliau memilih hidup sebagai single parent atau orang tua tunggal untuk kami berenam," ungkap Bunda Lily, sapaan akrabnya, di acara Tahlil dan Doa Memperingati Haul ke-1 KH Hasyim Wahid (Gus Im) yang digelar secara virtual pada Kamis (29/7/2021) malam.

 

Ketika wafat, KH Abdul Wahid Hasyim meninggalkan Nyai Sholichah Munawwaroh dengan lima putra-putri yang masih kecil-kecil, di samping KH Hasyim Wahid (Gus Im) yang masih tiga bulan dalam kandungannya.

 

"Tetapi, semangat Ibu yang tinggi, strible for life-nya itu tinggi sekali, itu yang menjadi inspirasi bagi kita berenam. Semangat menjalani hidup," terang perempuan mantan anggota DPR-RI itu, memberi kesaksian.

 

Sampai-sampai oleh anak-anak Bunda Lily, sosok neneknya dibilang terlalu semangat dalam menjalani hidup. "Soalnya kadang-kadang nggak ngerti ada capek. Ada acara apa aja diundang, yowis teko (datang saja, ed). Ini, salah satunya, adalah yang diwariskan Ibu kepada kita-kita semua," imbuhnya.


Kesaksian juga datang dari dr Umar Wahid, kakak Bunda Lily Wahid. Ia menyebut Nyai Sholichah Munawwaroh memiliki dua hal yang sangat menonjol. Pertama, Nyai Solichah Munawwaroh sangat mencintai agama, negara, dan bangsanya. Dan ini, lanjutnya, bukan hanya dalam kata-kata, tapi diwujudkan dalam perbuatan.

 


Kedua, Nyai Sholichah Munawwaroh orang yang sangat mencintai keluarganya, wabil khusus Bani Bisri Syansuri dan Bani Wahid Hasyim. Perhatian kepada keponakan dan cucunya sangat besar.

 

"Kita bisa belajar dari situ: bagaimana di tengah-tengah kesibukan kita, kita tetap memberikan perhatian yang cukup, bahkan berlebihan, kepada keluarga. Itulah sosok Bu Wahid," kata sang dokter.


Ketiga, kecintaanya yang lain yang luar biasa adalah kepada NU. "Agak sulit mencari tokoh seperti Bu Wahid yang begitu mencintai NU," imbuhnya.

 

Kemudian ia mencontohkan dua peristiwa sebagai bukti kecintaan sang Ibu. Pertama, ketika meletus G30S/PKI Nyai Sholichah Munawwaroh mengurus segala fasilitas dan kebutuhan kegiatan PBNU yang dipindah ke rumahnya. Kedua, adalah perannya dalam menyelesaikan konflik para petinggi NU di tahun 1983-1984 antara Kubu Cipete dengan Kubu Situbondo.

 

Membuka usaha jualan beras
Dalam catatan Ahmad Fathoni, mengutip Majalah Risalah Islamyah Jakarta, Edisi Nomor 7-IX, tahun 1977, beban untuk mendidik hingga menyekolahkan keenam anaknya itu betul-betul sangat dirasakan oleh Nyai Sholechah karena tidak banyak peninggalan suaminya selain ilmu dan perjuangan yang tiada tara. Ia menuturkan, suaminya adalah seorang pejuang yang tentunya tidak banyak perhatiannya pada harta benda selain keikhlasan. Pada saat itu, kisahnya, kondisi dan keadaan negara tidak semaju sekarang ini. 

 

"Jadi, walaupun jadi Menteri juga tidak banyak uang. Walhasil tidak ada persiapan ekonomi apa-apa dan tidak meninggalkan warisan harta yang cukup untuk keperluan hidup dan pendidikan anak-anak," tutur Nyai Sholechah (Risalah Islamyah, 1977: 28).


Namun demikian, bagi Nyai Sholechah yang terpenting suaminya telah meninggalkan ilmu pengetahuan dan pelajaran hidup yang sangat berharga untuk bekal anak-anaknya di masa yang akan datang. Hal ini menjadi keyakinan dirinya dalam setiap usaha yang dilakukannya agar keenam anaknya dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, termasuk ketika Nyai Sholechah membuka usaha jualan beras.

 

"Dalam usaha dagang beras itu, seingat saya bisa mendapat keuntungan Rp2,50 alias seringgit tiap kuintalnya," ujar Nyai Sholechah (1977: 29).

 

Uang satu ringgit kala itu memang bukan uang yang sedikit, sehingga usaha dagangnya itu mampu mencukupi bagi kehidupan dan pendidikan anak-anaknya. Usaha dagang beras terbilang sukses, Nyai Sholehah juga berusaha membuka usaha-usaha lainnya, seperti usaha leveransir (semacam jasa penyedia barang, red) bagi pembangunan Tanjung Priok kala itu.

 

Bagi Nyai Sholechah, meskipun suaminya seorang menteri, pejuang bangsa dan salah satu perumus dasar negara Indonesia, tidak lantas membuatnya bergantung pada sederet kiprah dan prestasi tersebut. Biarlah bangsa Indonesia yang menilai, mengingat, atau bahkan memberikan penghargaan setinggi-tingginya bagi KH Wahid Hasyim. Dalam hal inilah Nyai Sholechah berprinsip bahwa tidak ada usaha yang tidak pantas dalam mencari rezeki halal, tentu asal usahanya halal pula.


Nyai Sholichah Munawwaroh Wahid lahir di Jombang, 11 Oktober 1922. Ia adalah anak kelima dari 10 bersaudara, putri dari pasangan KH Bisri Syansuri dengan Nyai Chadijah, adik KH Abdul Wahab Chasbullah. Ia wafat pada Jumat, 29 Juli 1994, sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, di usia yang cukup panjang, 72 tahun. Jenazahnya dimakamkan di kompleks pemakaman Pondok Tebuireng Jombang. Namanya diabadikan menjadi sebuah nama masjid di Ciganjur: Masjid al-Munawwaroh.

 

Kontributor: Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Editor: Kendi Setiawan