Nasional

Mudik, Beragama Dilandasi Kerukunan Sosial dan Persatuan

NU Online  ·  Selasa, 5 Juli 2016 | 22:06 WIB

Ketika menjelang Lebaran, jutaan orang secara berbarengan pulang ke kampung halamannya masing-masing. Macet berjam-jam dan risiko kecelakaan perjalanan tetap ditempuh para pemudik demi sampai kampung halaman.

Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak, Yogyakarta M. Jadul Maula mengatakan, tujuan utama mudik adalah sungkem kepada orang tua dan silaturrahim kepada kerabat dan handai taulan.

Menurut dia, budaya mudik ini jelas dilandasi tuntunan agama yaitu berbakti kepada orang tua dan menjaga tali silaturrahim dengan sanak keluarga dan kerabat.

“Momentumnya juga bagus yaitu Idul Fitri, merayakan kembalinya manusia ke dalam fitrah,” kata Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia PBNU ini Senin (4/7).

Ia menambahkan, sebetulnya mudik tidak hanya dilakukan muslim Indonesia, melainkan negara-negara Islam lain semisal di Arab, Mesir, dan lain-lain. Namun bentuk, intensitas dan ekspresinya berbeda.

“Di negara-negara lain biasanya suasana Idul Fitri terbatas, habis shalat Ied mereka datang ke rumah orang tua dan makan-makan bersama keluarga,” ungkapnya.

Sementara di Indonesia mudik dilakukan lebih meluas dan masif. Tekanannya pada saling memaafkan, tidak hanya pada orang tua dan keluarga dekat, tapi juga keluarga besar (trah) dan lebih luas lagi saudara sedaerah dan bangsa.

“Ini adalah proses penyatuan dalam kebhinekaan, didasari pribadi-pribadi yang sedang ingin membersihkan diri dan hati,” lanjutnya.

Ketika ditanya kenapa bisa meluas, menurut dia, ini adalah warisan pengajaran leluhur yang memberikan dasar-dasar pengamalan agama yang berdimensi persatuan dan kerukunan sosial, bukan individual.

Leluhur yang dia maksud adalah wali-wali Nusantara. Sebelum Islam datang, tidak ada perayaan Idul Fitri, tetapi penghormatan kepada leluhur, bahkan sampai pada pemujaan, itu juga merupakan bentuk religiusitas yang sangat tua di Nusantara. (Abdullah Alawi)