Nasional

Mengurusi Seni Pencak dan Lukis dalam Satu Tarikan Napas

NU Online  ·  Jumat, 23 November 2018 | 15:00 WIB

Jakarta, NU Online 
Beladiri pencak silat dan lukis memang sama-sama seni. Namun agak berlainan, yang satu lebih menekankan kekuatan fisik, sementara yang satunya lagi lebih menekankan kehalusan. Singkat kata, dunia yang sepertinya berjauhan. Namun, Muchamad Nabil Haroen berada di kedua dunia itu. 

Pria yang akrab disapa Gus Nabil adalah Ketua Umum Pencak Silat NU Pagar Nusa, sebuah badan otonom NU di bidang seni beladiri pencak silat dengan ribuan anggota di seluruh Indonesia. Di saat yang sama ia juga mengembangkan Nusantara Utama Gallery atau NU Gallery, yang kerap mengadakan perlombaan, pameran, dan pelelangan lukisan. Ya, dia mengurus keduanya dalam satu tarikan napas. 

Seni beladiri ia mulai mengenalnya sejak kecil. Lebih dekat lagi saat ia menimba ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo. Di pesantren tersebut terdapat seorang mahaguru pencak silat, pendekar utama NU, KH Maksum Jauhari. 

Sementara lukisan, ia mulai mengenalnya sejak kecil pula. Namun, lebih ke seni lukis kaligrafi, utama karya almarhum KH Munawwir Rembang yang tertempel di dinding rumah orang tuanya. 

“Terus ada lukisan kaligrafi Gus Mus (KH Ahmad Mustofa Bisri, Mustasyar PBNU). Itu perjumpaan awal dengan lukisan. Saya di pesantren, yang tahu hanya kaligrafi, bukan lukisan,” katanya di Pameran Tunggal Seni Rupa Sang Maha Guru karya Nabila Dewi Gayatri di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (23/11). 

Gus Nabil lebih intensif mengenal lukisan setelah tinggal di Jakarta. Mulanya ketika pada 2012 ia mampir ke sebuah studio foto di bilangan Jakarta Selatan. Di situ ia melihat beberapa lukisan yang terpajang. Ia tertarik lukisan-lukisan itu untuk dipajang di rumahnya. 

“Harganya kok lumayan. Akhirnya saya hanya membeli yang termurah, harga 500 ribu, lukisan pantai. Tapi saya penasaran dengan lukisan yang mahal itu. Saya cari pelukisnya. Ternyata tidak jauh dari daerah situ. Di daerah Ciganjur. Akhirnya kenal sama pelukis itu,” jelasnya. 
 
Bertemu dengan pelukis, mendapatkan wawasan baru tentang seluk-beluk dunia lukisan. Semakin tahu, ia semakin penasaran. Ia mulai bergaul dengan para pelukis misalnya dengan Toto Muhammad Setiawan, Djoko Susilo, Nasirun, Mansyur HB. 

“Oleh Gus Mus dikenalkan dengan beberapa pelukis dan kolektor,” lanjutnya.  

Kemudian dari situ, ia terpikirkan agar fragmen kisah atau sejarah NU bisa terekam melalui lukisan. Selama ini dokumentasi masih terbatas tulisan, foto, dan video.

“Meskipun sama-sama mengandung seni dan dokumentasi, tapi lukisan adalah seni yang lain. Intinya saya ingin peristiwa dan tokoh-tokoh NU bisa terekam dalam lukisan. Mulailah saya meminta melukis Resolusi Jihad, tokoh-tokoh NU.”

Pada Muktamar Jombang tahun 2015, ia memulai debutnya terkait lukisan yaitu dengan menyewa stan untuk memperkenalkan NU Gallery. Pada 2016, ia memamerkan lukisan para santri di Tugu Proklamasi, Jakarta. 

“Memamerkan lukisan santri, karya-karya yang berlatar belakang santri, ada mantan IPNU, Kiai Munawir, dan lain-lain,” katanya. 

Kemudian mengadakan pameran lukisan Indah Negeriku, Damai Bangsaku di Hotel Sahid 2017 yang dibuka Teten Masduki. Di tahun yang sama mengadakan lelang lukisan santri di Hotel Sahid yang dibuka Wapres Jusuf Kalla. Di tahun yang sama pula, mengadakan pameran tunggal karya Nabila Dewi Gayatri yang dibuka Kapolri Tito Karnavian. 

Tahun 2018, dalam rangka memperingati Hari Santri dan Hari Pahlawan NU Gallery kembali hadir dengan mengadakan perlombaan melukis dengan tema Jejak Pahlawan dalam Goresan Perupa. Kegiatan bertajuk Indonesia Painting Contest 2018 tersebut diikuti 200 perupa dari seluruh Indonesia. 

Menurut Gus Nabil, sebetulnya pasar seni rupa sedang sepi, tapi menurutnya seni rupa harus tetap hidup. NU Gallery ingin mengambil posisi tersebut, yaitu menjembatani pelukis dengan pasarnya. 

“Ya ini ikhtiar saja,” katanya. 

Ia kemudian mengenang masa lalu saat mondok di Lirboyo. Menangani NU Gallery sebetulnya ada pertautannya dengan kebiasaan dia menjual potret-potret. Pasarnya adalah para santri dan masyarakat umum. Dia biasa menggelar dagangannya pada kegiatan-kegiatan pesantren atau tabligh akbar. 

Tak hanya itu, kemudian ia mengembangkan bakatnya dalam seni kaligrafi. Ia menjadi penulis nama di atas lukisan-lukisan yang biasanya bernuansa alam dengan media kertas mengkilap. Hal itu lumayan ngetren di tahun 1990-an

Seni tulis itu terbangun karena ia merupakan seorang katib (bertugas menulis di papan tulis) di kelasnya. Ia terampil menulis dalam gaya Tsulus, Farisi, Riq’ah, dan Naskhi. 

Gus Nabil mengaku melakukan hal itu untuk membiayai mondoknya agar tidak membebani orang tua. (Abdullah Alawi)