Nasional

Menepis Stigma Perempuan Pesantren

Jum, 8 Oktober 2021 | 08:00 WIB

Menepis Stigma Perempuan Pesantren

Ilustrasi: Banyak pemikiran, kehendak, gerakan keadilan dan kesetaraan gender yang lahir dari pesantren.

Jakarta, NU Online 
Jam’iyyah Perempuan Pengasuh Pesantren dan Mubalighah (JP3M) menggelar webinar dalam rangka menyambut Hari Santri 2021. Mengusung tema Penguatan Peran JP3M dalam Konteks Pemberdayaan Perempuan Pesantren, Kamis (7/10/2021) di Kanal YouTube JP3M Nusantara.


Mengisi webinar tersebut, Ning Nawal Nur Arafah Taj Yasin mengatakan saat ini masih banyak stigma terkait kesetaraan perempuan di pesantren. Misalnya, ada berbagai macam tuduhan seperti anggapan bahwa pesantren memiliki pandangan-pandangan tradisional yang cenderung berlawanan dengan gerakan keadilan dan kesetaraan hak-hak perempuan. 

 

"Padahal banyak pemikiran, kehendak, gerakan keadilan dan kesetaraan gender yang lahir dari pesantren seperti; RA Kartini, Nyai Nafisah Sahal Mahfudz," ujar istri Wakil Gubernur Jawa Tengah itu.


Pesantren juga dianggap kurang mengapresiasi kiprah dan peran perempuan dalam ranah publik padahal menurutnya, peran perempuan pesantren secara nyata sangat besar dan  kini sudah terbuka terhadap nilai-nilai kesetaraan gender.

 

"Pesantren juga semakin terbuka dan menerima nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender serta menerapkan pendekatan korektif terhadap khazanah fiqih perempuan, fiqih perkawinan, dan fiqih keluarga," ungkapnya.
 

Ia juga menyampaikan bahwa diperlukan berbagai macam pendekatan untuk memberdayakan kepemimpinan perempuan di pesantren baik sosio-kultural, religi, histori, maupun filosofis.
 

 

Pertama, dalam bidang keagamaan. "Pentingnya melibatkan santri perempuan dalam berbagai proses pengambilan keputusan keagamaan, memperbanyak halaqah dan bathsul masail serta mengembangkan kemampuan penulisan bagi santri perempuan," terang Lulusan Institut Agama Islam (IAI) Al-Aqidah Jakarta ini. 


Kedua, dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. "Perlunya mengembangkan pendidikan kewarganegaraan bagi santri, membekali keterampilan ekonomi, dan memperbanyak kegiatan wisata bakti berupa santri perempuan mengajar di pedalaman dan perkotaan," kata Dosen STAI Al Anwar, Rembang, Jawa Tengah.


Ketiga, dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. "Pentingnya mengenalkan media dan teknologi informasi serta komunikasi kepada santri untuk mengembangkan dakwah," ucap Ning Nawal.
 

Sementara itu, Dosen Institut Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Pati, Ning Kamilia Hamidah meminta pengasuh pesantren (terutama pesantren yang di dalamnya terdapat santri perempuan) untuk merespons adanya struktur sosial yang masih berlaku pada masyarakat seperti marginalisasi, subordinasi, stereotype/pelabelan, kekerasan dan beban ganda. 

 

"Diakui atau tidak, inilah kenyataan yang sedang kita hadapi. Oleh karena itu, dalam konteks ini kita perlu mengajarkan santri tetap bisa bertahan dalam lingkungan yang seperti ini," tutur  perempuan asal Jepara, Jawa Tengah itu.


Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Kendi Setiawan