Nasional

Mendikbud Nadiem Diminta Tanggung Jawab dan Beri Solusi soal PPDB Zonasi

Sen, 31 Juli 2023 | 12:00 WIB

Mendikbud Nadiem Diminta Tanggung Jawab dan Beri Solusi soal PPDB Zonasi

Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji. (Foto: Dok. JPPI)

Jakarta, NU Online

Pernyataan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi,Ā Nadiem MakarimĀ yang menyebut ia kena getah dari kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi yang diinisiasi Mendikbud sebelumnya, Muhadjir Effendy.Ā Sejumlah pegiat pendidikan menyayangkan kalimat tersebut keluar dari seorang menteri pendidikan.


Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyesalkan hal tersebut. Alih-alih memberi solusi, pemerintah justru terkesan cuci tangan menanggapi kacaunyaĀ PPDBĀ Zonasi di sejumlah daerah yang terus berulang beberapa tahun belakangan ini.


"Setelah lama bungkam, akhirnya kemarin Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim buka suara soal zonasi. Sayangnya, bukan jalan keluar atau solusi atas permasalahan yang terjadi, tapi curhat soal kena getah tahunan akibat kebijakan yang katanya bukan dia ciptakan," kata Ubaid dalam keterangan tertulisnya, Senin (31/7/2023).


Sebelumnya, kata Ubaid, Presiden Joko Widodo turut berkomentar bahwa kegaduhan pelaksanaan PPDB adalah masalah teknis di lapangan. Sementara itu Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf menyarankan supaya sistem PPDB balik seperti dulu lagi, yaitu seleksi berdasarkan prestasi alias nilai hasil ujian akhir sekolah. Ā 


Melihat penyataan para pimpinan ini, JPPI menilai bahwa tidak ada pihak yang secara gentle bertanggung jawab atas kekisruhan ini. JPPIĀ lalu menawarkan solusi yang berkeadilan bagaimana supaya tidak terjadi lagi kekisruhan tahunan ini.Ā 


"Semua cuci tangan dan lempar tanggung jawab. Kepala-kepala daerah pun begitu, mereka tidak sadar dengan tanggung jawabnya untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada seluruh anak secara berkualitas dan berkeadilan. Atas nama penertiban administratif, ada 4.791 anak di Jawa Barat dan 208 anak di Kota Bogor yang namanya dicoret tidak boleh ikut PPDB," jelasnya.


JPPI mempertanyakan, bagaimana nasib mereka saat ini? Bagaimana pula nasib mayoritas anak bangsa yang sudah berjibaku daftar PPDB, tapi berujung pada kegagalan?Ā 


"Saya sebut mayoritas, karena sampai hari ini jumlah kursi yang disediakan di sekolah negeri terlalu minim dibanding total kebutuhan," ucap Ubaid.


Menurut Ubaid, PPDB bukan masalah teknis di lapangan, melainkan masalah sistemik yang dipicu oleh peraturan di level pusat, yaitu Permendikbud No.1 tahun 2023, yang masih menggunakan ā€œsistem seleksiā€ dan pemerintah tidak menyediakan bangku sekolah sejumlah kebutuhan.Ā 


"Mau pakai sistem apapun, tapi daya tampung tak tersedia, kekacauan pasti akan terjadi," kata Ubaid.


Seharusnya, sebut dia, PPDB jangan berdasarkan prestasi. Jika dilakukan, maka akan kembali ke pola primitif yang akan mengamputasi hak anak untuk bisa bersekolah.Ā 


"Bagaimana nasib anak-anak yang tidak berprestasi? Padahal mereka adalah sama-sama anak Indonesia yang punya hak yang sama," tukasnya.


Mendikbud bertanggung jawab penuh mengubah sistem PPDB

Ubaid meminta Mendikbudristek bertanggung jawab penuh dan mengubah sistem PPDB sebagaimana dalam Permendikbud No. 1 tahun 2021.Ā 


Sistem baru, kata Ubaid, harus mampu menjamin semua anak dapat jatah bangku sekolah, dan mewajibkan seluruh pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan pihak swasta bila kursi di sekolah negeri tak mampu menampung kebutuhan.Ā 


"Sistem zonasi harus diterapkan berdasarkan pemerataan kursi dan mutu sekolah. Sehingga, tidak ada lagi rebutan kursi karena semua kebagian. Begitu pula, tidak ada lagi penumpukan jumlah pendaftar, karena tidak ada mutu yang jomplang alias favoritisme," jelasnya.


Tak lupa, pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab dan kewajiban pemerintah, sebagaimana amanat UUD 1945 (pasal 31 ayat 2) dan UU Sisdiknas (pasal 34 ayat 2).Ā 


"Sekolah bebas biaya ini harus diterapkan di negeri dan swasta, minimal hingga jenjang SMP atau 9 tahun, dan sampai SMA/SMK bagi daerah-daerah yang menerapkan kebijakan wajib belajar 12 tahun," tandas Ubaid.